Lihat ke Halaman Asli

Febroni Purba

Bergiat di konservasi ayam asli Indonesia

Industri Pengolahan Daging (Tak) Siap Hadapi MEA

Diperbarui: 8 Desember 2015   18:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Masyarakat Ekonomi ASEAN tinggal menghitung hari. Industri pengolahan daging Indonesia dinilai belum siap untuk berdaya saing. Sulitnya memperoleh bahan baku yang murah merupakan penyebab utamanya.

Industri pengolahan daging di Indonesia terus bertumbuh. Hal itu dapat kita lihat dengan fenomena usaha sosis dan nuget yang menjamur di mana-mana. Makanan berbahan olahan daging ini makin digemari hampir semua lapisan masyarakat karena rasanya yang lezat dan mudah menyajikannya. Jadi jangan heran jika pedagang sosis panggang mudah dijumpai di mal, hotel, kafe, terminal, sekolah, dan pinggir jalan.

Meskipun ditengarai mengalami pertumbuhan, harga daging olahan lokal masih lebih mahal ketimbang daging olahan impor. Hal ini disebabkan lantaran bahan baku seperti Mechanical Deboned Meat (MDM) lokal jauh lebih mahal. Harga MDM lokal sekitar Rp 16.245 per kg. Sedangkan harga MDM impor hanya sekitar Rp10.000 per kg. MDM adalah daging ayam yang melekat pada tulang kerongkongan dan tulang hasil sisa dari pembuatan dada dan paha tanpa tulang (boneless). MDM hanya dapat diperoleh dari pemisahan dengan mesin separator.

Tak hanya itu, dalam hal rasa (taste), daging olahan lokal juga masih kalah dengan daging olahan impor. “Daging olahan impor khususnya dari Malaysia, jauh lebih enak daripada daging olahan kita karena kandungan dagingnya lebih banyak,” ungkap Ketua Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia (NAMPA) Ishana Mahisa, di kantornya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (7/12).

Daging olahan asal Malaysia sudah membanjiri pasar Indonesia sejak tahun 2012. Bahkan produk olahan daging impor dari Malaysia meningkat setiap tahun. Ini menunjukkan bahwa Malaysia merupakan negara yang sangat kompetitif sebagai produsen daging olahan. Menurut Ishana, Malaysia mampu berdaya saing lantaran dagingnya dari India.

Hingga detik ini, pemerintah Indonesia tidak berani impor sapi/kerbau dari India karena belum bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), sehingga sapi dari Autralia selalu menjadi pilihan. Padahal harga daging sapi 85 CL dari India lebih murah sekitar Rp43.000 per kg, sedangkan 85 CL dari Australia kisaran Rp 66.000 – Rp 69.000 per kg. Sebagian besar jenis daging yang dibutuhkan oleh indsutri pengolahan adalah jenis 85 CL (tetelan).


Ishana mengatakan, jika pemerintah melakukan pembatasan terhadap industri dalam memenuhi kebutuhan bahan baku, berdaya saing dalam MEA hanyalah mimpi belaka. Ia menilai, risiko penyakit PMK dapat dicegah. “Sapi yang didatangkan dari India diperiksa oleh dokter hewan pada waku di karantina. Lalu diotopsi untuk mengetahui adanya penyakit. Setelah bebas penyakit, kemudian masuk proses pelayuan, dan dibekukan,” ujarnya.

Oleh sebab itu, industri pengolahan daging berharap kepada pemerintah agar segera membebaskan impor sapi asal India agar industri pengolahan daging bisa berdaya saing. Jika bahan baku industri daging dapat lebih murah maka harga daging olahan lokal dapat bersaing. Daging merupakan kompsisi tebresar (50-55 persen) yang dibutukan oleh industri pengolahan daging.

Selama ini, untuk menyiasati mahalnya daging, beberapa industri memberi tepung (tapioka) dengan porsi besar ketimbang daging sehingga rasanya kurang nikmat. Hal ini terpaksa dilakukan karena harga daging olahan impor jauh lebih murah. Tak hanya itu, sapi jenis potongan sekunder (secondary cut) dari India juga sekitar Rp 50.000 per kg, sedangkan di Indoneisa mencapai Rp 80.000 per kg.

Diakui Ishana, industri pengolahan daging tahun 2016 masih berkembang seiring pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Jumlah penduduk Indonesia yang besar sekitar 250 juta jiwa (40 persen ASEAN) menjadi pasar yang menarik. Namun jumlah penduduk Indonesia yang besar ini bukanlah konsumen yang loyal. Dengan bahasa lebih sederhana, masyarakat Indonesia pada umumnya senang gonta-ganti produk apalagi jika produk tersebut murah dan berkualitas. Ke depan masyarakat Indonesia perlu menjadi konsumen loyal sebagaimana sebagian besar orang Jepang yang nasionalis, cinta produk lokal. Tentu, industri pengolahan daging Indonesia harus menghasilkan daging yang berkualitas.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline