Seorang dengan kemeja batik dan mengenakan kopi tiba-tiba ada di belakang tempat saya duduk, saat acara workshop asosiasi yang diadakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan di Surabaya. Rupanya ia adalah Pak Sauland Sinaga, orang yang baru saya kenal sejak tahun lalu. Kami langsung saling bertanya kabar, lalu mulailah mengobrol.
Setiap kali ngobrol denganya, ia bercerita kepada saya tentang peternakan babi di Indonesia, khususnya di Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Sumatera Utara. Ketua Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI) Ia sedih hati melihat peternak babi di Tobasa yang belum sejahtera.
Bapak dengan tiga anak ini mengatakan, kabupaten Tobasa mempunyai potensi besar dalam mengembangkan peternakan babi. Sayangnya, potensi ini belum digarap secara maksimal oleh pemerintah provinsi dan pemerintah daerah sehingga peternakan babi di sana belum maju. “Padahal kalau dikelola dengan baik dan dibuat kelompoknya itu bisa kita majukan,” ujarnya dengan meyakinkan.
Boleh dibilang Sauland adalah satu-satunya pakar babi di Indonesia yang masih tersisa. Ia kerap tampil dalam berbagai seminar atau pertemuan ilmiah di tingkat nasional. Tak hanya sebagai dosen dan ketua AMI, Sauland juga didaulat menjadi dewan pakar Asosiasi Obat Hewan Indonesia dan konsultan di beberapa perusahaan obat hewan. Ia tidak hanya punya teori, Sauland juga memiliki banyak pengalaman di lapangan. Ia sudah berkeliling daerah di Indonesia untuk melatih mengenai peternakan babi.
Menurut pengamatannya, ada dua hal kelemahan peternakan babi di Indonesia, yaitu kawin secara inbreeding (perkawinan sedarah/keluarga) dan penyakit . “Hampir semua peternak babi mengawinkan ternaknya secara inbreeding. Selain itu babi di Indonesia muda terserang penyakit Hog Kolera akibat tidak divaksin oleh pemiliknya,” paparnya.
Minimnya pemahaman peternak babi terhadap dua hal tersebut membuat hatinya tergerak untuk lebih aktif membagikan ilmunya. Bahkan, ia selalu mengajak saya untuk membangun Tobasa berbasis peternakan babi. “Ayolah kita bangun Bona Pasogit (kampung halaman) itu,” untuk kesekian kalinya ia mengatakan kepada saya.
Ia menilai bahwa perhatian pemerintah masih lemah terhadap peternakan babi. Ia mengadu sedih ketika berkunjung ke Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) di Siborongborong, Sumater Utara, beberapa waktu silam. Masyakarat sekitar BPTU tersebut nyaris tidak tahu keberadaan dan fungsi BPTU Siborongborong. “Aku antar tiga mahasiswaku untuk PKL ke sana. Kesimpulan mereka adalah masyarakat dengan jarak 1,5 kilometer tidak tahu mengenai BPTU,” tuturnya.
Mestinya BPTU Siborongborong mampu menyediakan dan menyalurkan bibit unggul ternak (babi) kepada masyarakat sekitar Tobasa. Namun peran BPTU tersebut jauh panggang dari api. Jangankan disalurkan, bibit unggul ternak babi dari BPTU Siborongborong sulit diakses masyarakat. “Kalau kita mau pesan bibit ternak babi di sana kayak mendaftar naik haji, bisa diberikan tahun depan. Bahkan ada orang dalam (petugas BPTU) itu yang mengambil bibit babi untuk dipelihara komersial di luar,” ungkapnya seraya memasang wajah sedih.
Danau Toba sebagai ikon provinsi Sumatera telah tercemar eceng gondok (tanaman air) dan keramba jaring apung. Menurut Sauland, eceng gondok sebetulnya bisa dimanfaatkan menjadi pakan ternak babi karena mengandung kadar protein tinggi. “Danau Toba rusak karena eceng gondok. Orang akan menjadi takut berenang karena nanti ada ular anaconda di bawahnya,” ujarnya sembari tertawa kecil.
Dalam obrolan singkat itu, Sauland meyakinkan bahwa bisnis peternakan babi itu masih menjanjikan. Bahkan, ternak babi adalah satu-satunya komoditi ternak Indonesia yang diekspor dalam jumlah besar yaitu sebanyak 12.000 ekor per hari. Selain itu, daging babi dari Indonesia banyak diminati negara-negara ASEAN Singapura, Malaysia, dan Filipina. “Daging babi dari Indonesia diminati karena lebih segar daripada daging babi negara lain,” pungkasnya.