Lihat ke Halaman Asli

Febroni Purba

Bergiat di konservasi ayam asli Indonesia

Peran Pemuda dalam Internasional Menurut Dian Sastro

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


DI antara keenam pembicara itu, Iman Usman termasuk pembicara paling muda. Ia berusia 24 tahun. Iman didaulat sebagai salah satu pembicara pada Conference On Indonesian Foreign Policy (CIFP) 2015, Sabtu, 13 Juni 2015, di Hotel Grand Sahid, Jakarta.

Dalam konferensi itu, hadir pula Dian Sastrowardoyo, Rio Dewanto, Togi Pangaribuan, Alanda Kariza, dan Pandu Manggala menyampaikan pandangannya bertajuk "Suara Pemuda Mengenai Internasionalisme." Iman menyerukan agar pemuda Indonesia harus punya peran di tataran global. Untuk mencapai hal itu seorang pemuda harus tahu lebih dulu perannya di lingkungan terdekat. “Saya gak mau bilang bahwa kalau pada akhirnya kita sendiri gak tau apa peran kita di dunia saat ini. Atau mungkin kita gak tau apa peran kita di lingkungan RT dan RW,” ujarnya. Meski tergolong muda, pria berdarah Minangkabau itu memiliki segudang prestasi di tingkat nasional dan internasional. Dia pernah menerima penghargaan dari mantan Presiden SBY sebagai Pemimpin muda Indonesia tahun 2008. Pada tahun 2011, ia didaulat sebagai Duta Muda ASEAN dan mewakili Indonesia untuk G-20 My Summit di Toronto, Kanada.

Iman berpandangan bahwa dengan bonus demografi saat ini, potensi pemuda Indonesia terbuka lebar dalam mencari pekerjaan. Baginya pekerjaan yang paling dibutuhkan sekarang ini adalah pekerjaan yang relevan seperti teknologi internet. “Untuk memilih pekerjaan, pilihlah pekerjaan yang relevan hari ini,” imbuhnya. Siapa yang tahu, lanjutnya, sekarang sudah ada yang namanya spesialis media sosial.

Mencari pekerjaan yang relevan tidak harus meniru pekerjaan apa yang sudah dilakukan orang lain. Yang pasti pekerjaan itu dilakukan sesuai kemampuan masing-masing individu. Menurut Iman, pemuda harus berani meyingkirkan pandangan lama jika itu tidak relevan lagi lantaran dunia berubah cepat. “Pekerjaan yang banyak dibutuhkan saat ini mungkin tidak dikenal 3 atau 4 tahun yang lalu,” kata Iman yang juga pendiri Indonesia Future Leaders.

Pada kesempatan itu, artis cantik bernama Dian Sastrowardoyo mengungkapkan bahwa kekuatan sebuah bangsa itu juga tak lepas dari power (soft) cultural, selain kekuatan ekonomi dan kekuatan militer. Pemeran Cinta dalam filem AADC (Ada Apa Dengan Cinta) itu mengutip teori Joseph Nye, bangsa dengan kekuatan budaya dapat menarik perhatian para turis maupun pelajar untuk memperkenalkan budaya bangsanya. Itu lebih persuasif.

Menurut Dian, filem Filosopi Kopi itu bukan sekadar menjual para artis yang ada di dalamnya tetapi juga menjual kopi yang merupakan bagian dari budaya Indonesia. “Film Filosopi Kopi bisa ditayangkan di Perancis itu bukan Cuma menjual Rio Dewanto saja, itu juga jualan negaranya, dan jualan kopinya juga,” ujar lulusan sarjana filsafat FIB UI itu.

Dian mengajak pemuda agar melihat pasar tidak hanya di Indonesia tetapi juga pasar global. “Saya ingin mengajak kita semua untuk melihat pasar kita itu tidak hanya Indonesia doang. Kalau kita sebagai produsen barang dan jasa, kita harus memperkuat market kita di pasar internasional,” tuturnya. Industri kreatif itu, kata Dian, adalah kuliner arsitektur, filem, desain, dll.

Dalam bersaing di dunia intenasional maka pemerintah harus mampu melahirkan pemuda yang kreatif. Dian mengapresiasi langkah pemerintah dalam membuat kebijakan industri kreatif di Indonesia. “Makanya menarik ketika Pak Jokowi membikin yg namanya Badan Ekonomi Kreatif di mana ada lembaga yang akan meregulasi industri kreatif di Indonesia,” sambungnya.

Filem Filosopi Kopi adalah salah satu contoh industri kreatif Indonesia yang sudah masuk pasar internasional. Selain Filosopi Kopi, filem The Raid yang dibintangi Joe Taslim, Iko Uwais, Yayan Ruhian, dkk. itu rupanya amat laris di pasar internasional. Sayangnya, filem The Raid kurang laris di Indonesia. Menurut Dian filem The Raid dibuat bukan untuk selera pasar Indonesia tetapi pasar internasional. “The Raid justru gak laku di Indonesia tetapi di luar negeri itu laku banget gitu lho. Yang menarik dari The Raid adalah gak ada banyak dialog. Yang diperlihatkan kebanyakan gontok-gontokan dan bunuh-bunuhan antara semua orang itu,” ucapnya.

Sebaliknya, filem yang kurang laku di pasar internasional menurut Dian adalah filem Habibie & Ainun. Filem yang menceritakan perjalanan kisah cinta mantan Presiden Habibie dengan istrinya itu banyak berdialog sehingga kurang pas untuk selera internasional. “Ada berapa sih yang ingin beli filem Habibie & Ainun di luar orang Indonesia? Gak banyak man,” pungkasnya.

Togi Pangaribuan mengungkapkan bahwa internasionalisme tidak bisa dihindarkan. Baginya dunia saat ini adalah dunia tanpa batas yang luar biasa. Karena itu, kata Togi, jumlah pemuda Indonesia yang besar ini harus produktif dalam menjawab tantangan global.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline