Belasan tahun lalu, pada sebuah pertandingan basket antar angkatan, tim saya kewalahan melawan tim kakak angkatan. Saya yang diberi mandat untuk menjalankan tugas pertahanan pun merasa frustasi hingga secara spontan memantulkan bola basket dengan keras.
Alhasil, suporter tim lawan yang berada di hadapan saya kompak berseru 'Biasa wae!' Oh, tampaknya ekspresi saya berlebihan dan cara mereka mengekspresikan kekesalan berbeda dengan saya, atau mungkin memang itu semata-mata bentuk dukungan mereka terhadap tim kesayangan.
Bagaimanapun, adalah hal yang patut disyukuri saat kita masih dapat merasakan emosi serta mengekspresikannya, juga saling menanggapi perasaan dan ekspresi satu sama lain.
Beda halnya dengan sebuah negara fiktif bernama Libria pada film Equilibrium. Dikisahkan, bahwa setelah Perang Dunia III, Libria memutuskan untuk melarang seluruh penduduknya merasakan emosi beserta segala macam medium ekspresi yang mungkin ada; dalihnya, emosi diyakini sebagai penyebab utama terjadinya perang.
Saking seriusnya perihal larangan emosi ini di Libria, para pelanggar akan langsung dihadiahi tiket bertemu Sang Pencipta. Demi mensukseskan pengekangan emosi ini, setiap warga Libria wajib menyuntikkan satu dosis obat bernama Prozium II setiap harinya.
Selain itu, pemerintah Libria juga memiliki divisi khusus bernama Grammaton Clerics yang bertugas untuk menjarah semua barang yang bertentangan dengan ketentuan tanpa emosi yang telah diatur Libria serta mengeksekusi para pelanggar.
Film berpusat pada perjuangan dan pertentangan batin seorang Cleric berpangkat tinggi bernama John Preston (Christian Bale) di kala menjalankan seluruh tugasnya.
Ujian dan pilihan yang sulit mengenai profesionalisme dan kemanusiaan senantiasa dihadapkan pada Preston; terlebih lagi istri dan juga rekan kerja Preston merupakan 'korban' dari hukum tanpa emosi milik Libria.
Bila saya hidup di Libria, mungkin saya adalah salah satu dari para terdakwa mati pertama; karena pasti tak cuma saya, tetapi banyak orang yang tidak rela emosi dan cara berekspresinya direnggut begitu saja.
Tanpa emosi serta ekspresi, manusia sama sekali tak bisa menjalankan fungsinya; seorang ayah atau ibu tak bisa membagikan dan mengajarkan kasih kepada anak-anaknya serta sebaliknya, mereka tak akan bisa menikmati indahnya senyum dan kebahagiaan anak-anak mereka. Tak akan ada puisi dan lagu galau untuk menemani para bucin atau para jomblo.
Tiada pula gelak tawa berkat para komedian yang senantiasa kreatif. Yang ada hanya wajah-wajah datar terjebak dalam rutinitas, interaksi-interaksi tak berarti serta kehampaan.