Lihat ke Halaman Asli

Febriyan Lukito

An Ordinary Life in Extraordinary World

Kopi, Persahabatan dan Cinta

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Secangkir kopi hangat terhidang di hadapanku, kopi hitam seperti kesukaanku. Pahit memang rasanya, tapi justru rasa pahit itu yang mampu mengisi kekosongan dihatiku. Kosong... Entah sejak kapan sudah, aku lupa. Menikmati kekosongan ini sudah menjadi makanan sehari-hariku.

Kopi itu pun ku seruput, memasuki rongga mulut mengalir melalui tenggorokan. Rasa hangatnya menyelimuti ruang kosong yang selama ini terasa dingin, beku, biru... Kembali aku teringat pada ucapan kawanku, 'kalau memang dia sayang, ga akan dia lakukan ini padamu, ga akan dia menduakan kamu.' Selain kopi hitam favoritku, kawanku itulah hal kedua yang bisa membuatku merasa aman. Kehangatan pertemanan kami sama seperti kehangatan kopi hitam... Kepada dialah aku biasa menceritakan masalahku, termasuk kisahku dengan Dimas, kekasihku - eh, mantan sekarang.

Dan saat ini keduanya ada di hadapanku, karena membutuhkan keduanya. Aku butuh kekuatan dari keduanya untuk menghadapi situasi ini, situasi yang membuatku terpuruk jatuh...

'Sudahlah, lupakan Dimas. Buat apa skrg kamu terus memikirkan dia dan mengharap dia kembali, dia sudah hepi sama temen kamu itu.' Ucap temanku satu itu sambil menyeruput kopinya.

"Tidak semudah itu aku bisa melupakan dia, terlalu banyak hal yang sudah kami lalui. Terlalu banyak cerita yang kami lewati". Ucapku setengah terisak...

'Ya, bener sih. Tapi, nyatanya, selama sama kamu, dia juga sama teman yang kamu anggap sahabat itu kan? Dia sendiri sudah mengakuinya.'

"Aku tahu itu, dan hal itu yang membuatku membenci mereka... Tapi kamu juga harus tahu, rasa cintaku juga sama besarnya terhadap Dimas bahkan mungkin lebih besar dari kebencian itu..."

'Ok...ok. Aku minta maaf. Silakan. Tangisi dia. Minta dia kembali seperti sblmn2nya. Do what u wanna do.'

"Nope, not anymore. Enough... Sudah cukup aku merendahkan diri di hadapan mereka. Tapi..... "

'Tapi apa?' Jawab temanku itu. Sebelum kujawab, aku menatap temanku itu.

"Lukanya memang sudah kering, tapi rasa nyerinya terkadang masih terasa. Rasa nyeri yang muncul akibat kerinduanku akan hal-hal kecil darinya... Rindu sapaannya di pagi hari, rindu suaranya yang menemaniku sampai terlelap... "

'Arrgh... Nyerah aku kalau kamu dah spt itu. Ga sanggup deh ngalahin puitisnya kamu soal cinta-cintaan, rindu-rinduan. Tapi satu hal, ga suka aku lihat kamu seperti tadi... Menangis dan merasa tak guna hidup.'

Sambil menyeka air  yang tanpa sadar menggenangi mataku, coba tersenyum getir... "Hei, aku cuma manusia biasa... Gpp kan sesekali menangis, merindukan seseorang... Walaupun aku tahu orang itu bahkan mengingatku saja tidak..."

'Ya.. Human. Sangat human bahkan, sampai kamu tak menyadari apa yang ada di hadapanmu.'

"Maksudnya???" sedikit bingung dengan apa yang dikatakan temanku itu, sesuatu dihadapanku...

'Seperti secangkir kopi yang menaburkan aroma hangat, aku memberi kehangatan. Namun, tak seperti kopi memancar aroma memabukkan, aku tak mampu memabukkan dirimu dalam cintaku.'

"Maksud kamu apa wan???" Sedikit terperangah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Awan tadi...

Hening. Awan hanya diam..... Kemudian 'maybe one day.... One day you'll realize what I mean'

By: Cherri Sutami n Febriyan Lukito

181011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline