Seorang anak 12-an tahun terduduk lesu bersandarkan tembok belakang masjid. Ia memeluk kedua kakinya dan seakan tak mau melepaskannya. Tak ada kata yang terucap dari bibir mungilnya, tak seberisik kerumunan anak di sekitarnya. Kalau boleh digambarkan, kala itu ada setidaknya dua kerumunan.
Beberapa anak membuat kerumunan langsung mengerubungi sang anak tadi. Sebagian yang lain membuat kerumunan tak jauh dari kerumunan pertama. Bisikan-bisikan anak-anak tadi pun tak lagi samar, tetapi menjadi terdengar jelas bagi jamaah di sekitarnya. Kalau boleh disebut, sang anak "malang" tadi baru saja mengalami kejadian tidak mengenakkan. Mungkin, itu akan membekas dalam sanubarinya hingga dewasa kelak.
Beberapa detik sebelumnya, seorang bapak sepuh yang dituakan di masjid tersebut baru saja berucap lantang setelah memasuki masjid. "Siapa tadi yang adzan?", tanyanya. Beberapa anak pun menunjuk seorang anak laki-laki di barisan anak-anak. "Besok jangan adzan lagi! Nafasmu tidak panjang.". Sang anak pun terduduk di lantai dengan dibayangi gemuruh bisikan anak-anak yang menirukan kata-kata seorang yang di-alim-kan masyarakat sekitar masjid tersebut.
Ingatan penulis langsung meluncur pada cerita yang sudah tersimpan beberapa tahun lalu. Mungkin pembaca sudah pernah mendengarnya pula. Suatu ketika, seorang perempuan datang ke masjid dengan pakaian yang tidak selayaknya dibawa ke masjid. Bukan bermaksud melecehkan tempat suci tersebut, tetapi ia ingin mencari guru, mencari jalan kembali. Namun, perempuan yang ingin keluar dari dunia tidak baiknya tersebut diusir dengan kasar.
Sang hawa ini pun dengan hati yang tidak karuan mencari-cari tempat untuk menenangkan hatinya. Sampailah ia di suatu diskotik. Dan apa yang terjadi? Bartender di sana menyapanya dengan santun! Bahkan, segelas minuman pun diberikan cuma-cuma. Stigma apa yang kemudian menghinggapi pikiran perempuan tersebut? Ternyata masjid bukan tempat yang menenangkan. Entah ini hanya cerita fiksi atau fakta. Namun, alur ceritanya begitu real untuk diterima nalar.
Kejadian tidak mengenakkan di suatu tempat ibadah tentu bukan kesalahan dari agama atau malah sang Tuhan pemilik rumah ibadah tersebut. Pada kasus tadi, sebetulnya tindakan takmir tersebut tidak lantas menjadi respon resmi dari masjid tersebut. Namun, bungkamnya jamaah di sekitarnya menjadi semacam dukungan segenap jamaah atas tindakan sang bapak tadi kepada bocah cilik yang baru saja adzan.
Kalau dipikir secara jernih, pada saat adzan dikumandangkan, beberapa bapak-bapak yang tentu sudah dewasa sudah berada di ruangan masjid. Seyogyanya yang dipertanyakan kenapa satu di antara mereka tidak maju mengumandangkan adzan.
Penilaian "nakal" bahwa segenap jamaah mendukung tindakan serupa agak relevan jika menilik beberapa kejadian sebelumnya. Kadang ketika kerumunan anak mulai berisik di masjid, ada saja yang sampai mengatakan "Nanti kupotong lehermu kalau berisik!". Atau malah tidak dengan kata-kata sama sekali. Contohnya? Seorang imam memiliki anak kecil yang selalu menguntitnya ke masjid, bahkan ikut membuntuti sang ayah ketika memimpin solat. Sang imam pun bertanya: "Apakah bapak-bapak keberatan saya membawa anak?". Mungkin jamaah menjawab di dalam hati, tetapi secara fisik sama sekali tak ada jawaban.
Satu kejadian seperti ini sepertinya kontraproduktif untuk mendidik para anak. Bocah "muadzin" tadi, tentu tidak hanya tertampar sesaat tadi. Tetapi, obrolan-obrolan teman-temannya menjadi celah perundungan. Mungkin pembaca memiliki pengalaman lain, tetapi pengalaman penulis, "amunisi" seperti itu akan dilancarkan oleh teman-teman terdekat hingga bertahun-tahun. Mungkin anak-anak sekeliling menganggapnya biasa. Namun, bagi anak yang ditarget "celaan", tentu suasana seperti itu bisa membuat depresi. Lebih bahaya lagi apabila muncul suatu stigma di dalam pemikiran sang anak seperti yang disimpulkan wanita yang ingin menjadi baik tadi. Anak yang seharusnya semangat beribadah, mengumpulkan amalan, tiba-tiba terdera trauma dan takut beribadah. Alhamdulillah, adzan pertama penulis ketika kecil tidak dicela jamaah. Padahal kala itu penulis pun tidak yakin apakah adzannya sudah benar. Dan ternyata pengalaman kala itu membuat penulis merasa nyaman dengan masjid.
Bukan masalah jumlah. Kemungkinan akan ada pembaca yang menepis "tingkat bahaya" dengan hitungan rasio. "Tidak semua masjid seperti itu koq." atau "Masjid yang ramah jauh lebih banyak.". Kita perlu kembali pada konsepsi keimanan bahwa satu jiwa yang beriman itu berat timbangannya di sisi Allah. Adalah hal yang janggal kalau kita tidak peduli dengan terwujudnya keimanan pada anak-anak kita, anak-anak kaum muslimin pada umumnya. Kepedulian kita -entah dengan rupa apapun- akan berkontribusi dalam mewujudkan atmosfer yang mendukung pendidikan agama bagi anak-anak.