Lihat ke Halaman Asli

Para Pembenci

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“PARA PEMBENCI”

Pukul 22.15 WIB, Yes pulang! Akhirnya bisa meninggalkan kantor juga. Bergegas menuju parkiran mobil di basement dan segera memacu kendaraan memasuki jalan tol dalam kota. Yak… namanya juga Jakarta, jam segini masih juga terasa padat, apalagi dengan ditemani ratusan truk yang berdasarkan peraturan, baru boleh melewati Jakarta menuju dan dari pelabuhan Merak setelah pukul sepuluh malam. Padahal hari ini sudah terasa cukup melelahkan untuk saya, baik secara fisik maupun mental namun harus juga melewati kepadatan bersama dengan para truk ini. Jika ditimbang-timbang kelelahan yang timbul rasanya jauh lebih melelahkan urusan mentalnya. Mungkin karena hampir 75% kegiatan sehari-hari kita adalah melakukan interaksi dengan berbagai macam jenis manusia yang berasal baik dari lingkungan kantor, rumah dan pertemanan. Beberapa meeting hari ini yang cukup menguras otak dan emosi disertai drama-drama kantor, pertemanan dan rumah semakin membuat mental terasa terkuras habis bis.

Sedang mencoba bersabar dalam antrian jalan, tiba-tiba saja, Stttt… truk sebesar Gaban langsung memotong jalan saya untuk masuk jalur ke kiri. Woiii, elo pikir mobil gue kantong plastik yang kalo di lindes engga kenapa-kenapa gitu?” reflek saya teriak ke supir truk yang sepertinya juga tidak mendengar makian tadi,  karena sayup-sayup terdengar juga lagu disko pantura yang diputar dengan volume cukup keras dari dalam truknya. “Dasar Mon**t!* umpat saya sekali lagi. (Mohon maaf, terkadang mereka memang sungguh-sungguh menyebalkan).

Tidak sekali dua kali emosi terpancing oleh para pengendara kendaraan di ibu kota seperti tadi. Yah.. harap maklum, namanya juga Ibu Kota yang berisikan berbagai macam manusia. Dan sayangnya kita terpaksa melakukan interaksi dengan berbagai manusia yang tidak kita kenal tersebut. Melakukan interaksi dengan manusia, yaitu makhluk hidup yang memiliki berbagai macam background, pendidikan, tujuan serta nilai-nilai hidup yang berbeda, tentunya akan banyak menimbulkan ketidaksepahamannya. Sayangnya ketidaksepahaman ini terkadang dapat mencapai tingkat tidak suka maupun benci secara personal yang kadang melewati batasan toleransi. Menurut saya “Benci” adalah kata yang merepresentasikan perasaan ketidaksukaan yang sudah memuncak contoh penggunaan kaata benci adalah sbb: Saya benci supir truk tadi yang hampir saja membuat mobil saya menjadi kaleng kerupuk penyok.

Kendaraan saya masih melaju perlahan dan akhirnya berhenti menunggu antrian kendaraan menaiki jembatan Tomang. Sambil membesarkan volume radio, saya mulai memperhatikan kendaraan disekitar. Ada truk container dan beragam mobil. Para pengemudinya semua terihat lelah, apakah mereka juga mengalami kelelahan fisik dan mental yang sama dengan saya? Apakah mereka juga pernah mengalami dibenci? Apakah mereka pernah memiliki teman yang berubah menjadi musuh? Apakah mereka pernah berniat untuk berbuat baik dan malah menciptakan bencana? Apakah mereka pernah menanyakan pada diri sendiri kenapa dibenci dan apa kesalahan diri sendiri?

Rasanya tidak perlu saya tanyakan hal-hal tersebut, toh sepertinya kita semua pernah dihadapkan dalam kondisi setidaknya salah satu diatas.  Artinya setiap kita pernah dihadapkan oleh yang boleh saya sebut sebagai kaum “THE HATERS” atau “PARA PEMBENCI”.

Siapakah para kaum “The Haters” atau “Para Pembenci” ini? Para pembenci ini bisa berada dalam “bentuk” apa saja, ibarat Aliens, mereka bisa menjelma menjadi siapa saja. Menyebalkan? Tentu saja… Siapa yang tidak kesal jika tiba-tiba menjadi target dari kaum ini.  Para Pembenci ini bisa juga berupa: “Frenemies” yaitu para teman yang berprofesi ganda sebagai musuh juga; “Back-stabber” yaitu para teman yang membunuh temannya sendiri dari belakang; “Anti Fans” yaitu kelompok lawan dari fans seseorang atau sekelompok biasanya untuk para figure idola.

Lalu pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah jika kita bukan merupakan bintang atau idola yang ter-expos masyarakat banyak akan terbebas dari para “The Haters” ini? Ooo tentu tidakk…. Sayangnya mereka akan selalu berada disekitar kita. Mereka hidup bersama kita. (Semacam salah satu film horror: kalau tidak “Man in Black” ya “Walking Death” lah..). Intinya mereka menggangu ketentraman hidup lah. Contohnya tidak usah jauh-jauh deh, si supir truk yan hampir saja menabrak saya tadi, jelas-jelas dia tidak peduli dengan keselamatan saya yang hanya didalam mobil kecil tadi dimana jika dia tabrak sedikit saja akibatnya bisa fatal. Lalu apakah dia peduli? Tentu saja tidak. Para Pembenci juga bisa saja datang dari kalangan terdekat kita, teman. Mereka bisa berubah menjadi musuh anda nomer satu dengan berbagai alasan.

For some reasons atau bahkan tanpa alasan apapun, kita dapat menjadi target kaum The Haterstersebut. Mereka tidak menyukai kita karena: cara kita bersikap, cara berjalan, cara kita berpakaian, potongan rambut, warna kulit atau hanya karena alasan sederhana seperti : kita bernafas.

Kita selalu berusaha menganalisa berbagai alasan dibalik semua kebencian yang mereka tumpahkan ke kita. “Kenapa” demi “Kenapa” kita coba selaraskan dengan pikiran sebab akibat dan kondisi yang ada. Puluhan teori pun mencoba untuk dijadikan dasar atas alasan kebencian orang tersebut kepada kita. Contoh: Iri hati? Adanya economic gap atau Social gapBehavior changes? Kurangnya iman? Trend?. Rasanya akan selalu ada jutaan alasan yang bisa digunakan seseorang untuk membenci kita. Dan jika kita terus menganalisa alasan kebencian mereka rasanya tidak akan cukup waktu umur hidup kita yang hanya berada di kisaran maksimum 100 tahun ini. Capek. Apalagi dengan berusaha untuk memenuhi keinginan dari setiap “The Hatersatau Para Pembenci” tersebut. Karena toh tidak ada garansinya juga, jika kita mengikuti apa yang mereka mau akan membuat mereka tidak membenci hal lainnya tentang kita.  Wasting time!. Contohnya: supir truk tadi belum tentu akan bersikap baik jika sudah saya berikan jalan tadi.

Perjalanan masih padat merayap di dalam Tol Kebun Jeruk, masih ditemani berbagai jenis truk, saya kembali teringat dengan cerita mengenai truk dan kehidupan. Cerita  yang mengibaratkan semua orang dalam kehidupan ini seperti truk sampah, dimana masing-masing membawa “sampah” nya sendiri. Sehingga untuk beberapa truk, dimana “sampah” yang dibawa sudah melebihi batas angkutannya maka cenderung membuang sampah-sampah kelebihannya ke jalanan dan mengenai semua truk lain yang melintas. Kita sebagai truk lain yang sedang melintas tiba-tiba terkena “Sampah” buangan dari truk lain yang sudah over capacity itu. Tentunya kita memiliki pilihan untuk menyikapi hal tersebut: 1. Marah dan balik melempar “sampah” tersebut ke truk yang over-capacity itu; 2. Sedih dan memikirkan kenapa kita bisa kena”sampah” truk tersebut; 3. Memungut sampah tersebut, berjalan kembali dan tetap tersenyum. Apapun pilihannya menjadi hak anda.

Namun sampai di satu titik pemikiran dimana saya rasa akan memilih malkukan perubahan pola pikir yaitu dibandingkan menghabiskan waktu, jiwa, raga, perasaan dan air mata kepada semua “Para Pembenci” untuk berusaha mencari alasan mengapa mereka membenci dan mencari tahu bagaimana membuat mereka menyukai saya, maka saya akan mengalihkan  fokus pemikiran.

Fokus pemikiran akan saya rubah kepada para kaum yang justru berada di seberang “Para Pembenci” tersebut. yaitu manusia-manusia yang mencintai dan menyukai saya. Manusia yang menyukai dan mencintai kita apa adanya. Mungkin memang jumlahnya sedikit namun pasti jauh dan lebih berarti dibandingkan puluhan atau ratusan “Para Pembenci” tersebut. Namun dengan memusatkan pikiran pada mereka yang memberikan aura positive tentunya akan menciptakan lingkungan dan mental yang positive dan sehat juga. Biarkan “Para Pembenci” tersebut menikmati kebencian mereka sendiri dan mensyukuri saja atas “Para Pencinta” yang masih kita miliki yaitu keluarga dan  teman yang benar-benar tidak pernah menyakiti diri kita.

Akhirnya kendaraan sudah memasuki komplek perumahan saya, langsung terbayang kamar dan pelukan anggota keluarga yang hangat di rumah. Dengan tersenyum lega, saya masih sempat mendengarkan satu  alunan lagu dari Bruno Mars yang diputarkan stasiun radio favorit yang menemani sepanjang jalan:

“Oh, you know, you know, you know I’d never ask you to change

If perfect’s what you’re searching for, then just stay the same

So don’t even bother asking if you look okay

You know I’ll say

When I see you face

There’s not a thing that I would change

‘cause you’re amazing

Just the way you are

Just the way you are ……”

(Just The Way You Are –Bruno Mars)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline