Pagi hari dikejutkan dengan kabar yang dibawa oleh salah teman kerjaku tentang salah seorang teman kerjaku, Dia,yang memang telah tidak masuk selama 3 bulan karena menderita TBC. Seluruh karyawan di kantor tahu bahwa selama ini Dia menderita TBC. Kabar itu cukup mengangetkan, seharusnya keadaannya membaik karena sudah istirahat total 3 bulan.
Teman: Sudah dapat kabar dari Dia belum?
Aku: Belum
Teman: Pacarnya meng-sms-ku. Dia Koma (sambil menunjukkan sms-nya kepadaku)
Aku: Kok bisa?
Teman: Dia terkena pendarahan otak
Aku: Kok bisa?
Teman: Mungkin karena dia tidak beristirahat. Bisa jadi selama Piala Dunia dia begadang nonton bola.
Aku:(terdiam)
Teman:Mau jenguk Dia?
Aku:Saat ini? Ketika dia Koma?
Teman:Iya, memangnya kapan lagi? Aku takut umurnya ga panjang
Aku:Aku pikir sekarang, ketika dia koma bukan waktu yang tepat
Teman:Jadi kamu bermaksud menunggu kabar?
Aku:Iya.
Teman:Memangnya kamu tidak mau menunjukkan keprihatinanmu kepada Dia?
Aku:Entahlah. Aku juga tidak ingin terlibat dengan keadaan gawat di sana.
Teman:Pulang kantor nanti, aku berencana mengejenguknya.
Aku:Kamu memiliki hubungan dekat dengannya ya, sampai-sampai kamu jadi tidak tenang?
Teman:Iya
Pilihanku untuk menunggu perkembangan selanjutnya dari Dia yang koma daripada menjenguknya langsung ke rumah sakit mungkin kedengarannya kurang baik atau kurang berperasaan. Tapi aku tahu berdoa untuknya tidak harus dilakukan di dekat raganya. Tapi apakah tingkat keprihatinan akan mempengaruhi doa yang tulus?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI