Sudah sepekan ini pembahasan mengenai dana aspirasi yang diajukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ramai diperbincangkan. Pengajuan dana aspirasi yang nilainya mencapai 20 M per anggota dewan disebut-sebut sebagai pengimplementasian atau wujud dari hak DPR yang terdapat dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 pada Pasal 80 huruf j dimana setiap anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan (Dapil). Banyak pihak yang menyayangkan ide mengenai dana aspirasi yang nilainya fantastis itu. Karena sebenarnya dana aspirasi yang seperti ini tidak sesuai dengan kondisi masyarakat atau daerah-daerah yang ada di Indonesia. Tidak semua kebutuhan masyarakat di daerah itu sama antara satu dengan yang lainnya. Tapi dari sekian banyak pihak yang tidak setuju atau menentang kebijakan itu, ada juga pihak yang setuju dengan ide mengenai dana aspirasi tersebut dengan berbagai alasan.
Pihak yang pro dengan ide ini sebagian besar berasal dari para anggota dewan yang memang merekalah yang sejak awal mengajukan usul untuk pemberian dana aspirasi sebesar 20 M kepada setiap anggota DPR. Pihak lain yang setuju dengan wacana ini beralasan bahwa dengan diberikannya dana aspirasi itu kepada setiap anggota DPR, maka hal tersebut akan dapat memudahkan setiap anggota DPR menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di setiap daerah pemilihan (Dapilnya).
Sedangkan pihak yang kontra dengan ide yang dicanangkan oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini merasa bahwa ide tersebut merupakan salah satu bentuk pemborosan uang negara dan menilai bahwa seharusnya DPR itu bertindak sebagai pembuat regulasi dan pengawas, bukan sebagai eksekutor. Seperti diketahui bahwa setiap anggota DPR telah diberikan hak nya masing-masing mengenai dana aspirasi yang diberikan untuk kepentingan atau digunakan pada masa reses dalam kunjungan kerja secara berkala di daerah pemilihan (dapil) nya masing-masing. Dana reses itu pun terbilang banyak, yakni sekitar 2,7 M per tahun. Jika usulan mengenai dana aspirasi itu berhasil digolkan, maka kemungkinan besar hal itu dapat berpotensi atau menimbulkan korupsi di tubuh DPR. Hal itu didasarkan dari kasus-kasus korupsi sebelumnya, dimana anggota DPR dengan kekuasaan yang dimilikinya dapat mempengaruhi proyek-proyek yang bernilai miliaran rupiah. Dengan memberikan pengaruhnya, DPR mendapatkan feedback tertentu yang menguntungkan dirinya.
Pada tahun 2010 yang lalu hal mengenai dana aspirasi ini pun pernah diajukan oleh para anggota dewan, namun publik menentang dengan keras usulan atau kebijakan DPR tersebut yang pada akhirnya usulan tersebut tidak jadi realisasikan. Disini DPR dituntut untuk bertanggung jawab atas usulan (dana aspirasi) yang secara ngotot ingin direalisasikannya. Pertanggungjawaban tersebut adalah dengan melaksanakan amanat yang telah dititipkan oleh rakyat dengan sejujur-jujurnya tanpa sekalipun berpikiran untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan rakyat dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H