Publik saat ini menyoroti konfrontasi antara pihak kepolisian dengan ormas Front pembela Islam. Sorotan public ini merupakan respon social atas beberapa peristiwa yang terjadi antara kedua pihak berkonflik tersebut. Tentunya konflik tersebut tidak serta-merta muncul dihapan publik, apalagi melibatkan dua kelompok yang mempunyai basis massa cukup banyak tersebar diseluruh daerah tanah air.
Jika merujuk pengertian teoritikus konflik Fisher, et al (2001) konflik adalah hubungan dua pihak atau lebih yang (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran tidak sejalan. Stoner dan Fremann (1989: 392) mengemukakan konflik dapat dipandang dengan dua pandangan, pertama tradisional (old view) dan modern (current view).
Pandangan tradisional menjelaskan konflik dapat dihindari karena dapat merugikan, tidak dapat mencapai tujuan yang optimal. Konflik biasanya disebabkan karena kesalahan seorang pemimpin, sehingga hanyalah pemimpin tersebut yang dapat meminimalisir konflik tersebut. Adapun pandangan modern menyatakan konflik tidak dapat dihindari hal ini disebabkan oleh banyak factor, seperti perbedaan persepsi, perilaku dan pemahaman terhadap nilai-nilai.
Dari pengertian tersebut asumsi awal untuk saat ini, akar konflik terjadi lantaran pihak kepolisian polda metro jaya mempunyai sasaran atau pandangan tidak sejalan dengan FPI perihal peristiwa penembakan senin, 7 Desember 2020.
Misalnya, kepolisian menganggap bahwa penyerangan terjadi karena muncul upaya pembunuhan terhadap aparat yang bertugas saat itu, disisi lain pihak FPI mempunyai argumentasi berbeda tentang pandangan kepolisian yakni para korban lascar FPI tidak menggunakan senjata jenis apapun ketika melakukan pengawalan.
Pandangan tidak sejalan tersebut tentunya menjadi dapat dikategorisasikan sebagai awal munculnya konflik. Akar konflik kedua terjadi, saat pihak kepolisian memanggil pemimpin Imam besar HRS ke polda metro jaya untuk dimintai keterangan tentang kerumunan yang terjadi di Tamburan Jakarta. Namun pemanggilan tersebut tidak dipenuhi karena yang bersangkutan karena mempunyai pandangan serta alasan berbeda dengan pandangan pihak keamanan.
Tidak hadirnya HRS inilah yang kemudian membuat pihak kepolisian berasumsi bahwa HRS berperilaku tidak baik sebagai warga negara. Ketiga muncul karena perbedaan kepentingan antara pihak keamanan dan FPI. Sedangkan pengertian kepentingan menurut Wallase dan Alison, (2001) disini dapat dipahami bahwa setiap individu/ kelompok mempunyai kepentingan yang asasi dan berusaha untuk merealisasikan kepentingan-kepentinganya itu.
Merujuk asumsi Marx sejatinya dalam semua struktur sosial, distribusi kekuasaan yang tidak merata pasti menimbulkan konflik kepentingan bagi yang memiliki kekuasaan dan yang tidak memiliki kekuasaan. Perbedaan kepentingan ini menyebabkan konfrontasi yang tidak ada titik temu antara keduanya.
Terakhir jika menggunakan sudut pandan konflik Max Weber (1864-1920) yakni konflik muncul terutama dalam wilayah politik yang dalam kelompok social adalah kelompok-kelompok kekuasaan, singkatnya asumsi Weber ini adalah pertentangan, konfrontasi dapat ditemukan dalam kelompok yang meligitmasi kekuasaan baik itu secara ideologi maupun nilai-nilai sosial.
Idelogi dan nilai-nilai sosial dipandangnya sebagai senjata yang digunakan oleh kelompok yang berkonfrotasi untuk meraih tujuan dan kepentingan mereka masing-masing. Pendapat Weber ini selaras dengan pemikiran tokoh konflik lainya yakni Ralf Dahrendrof yang mengemukakan konflik dapat ditemukan pada peranan otoritas suatu kelompok dominan pada kelompok minoritas yang terdominasi.
Contohnya ketika secara politis kelompok FPI berada diluar kelompok dominan (kekuasaan) secara struktur social menempati kelompok lapisan bawah yang dianggap dapat menimbulkan ancaman bagi ideology serta hubungan social, sedangkan kepolisian merupakan lembaga atau institusi pemerintahan yang berada dan harus menjalankan tugas-tugas kelompok dominan.