Apabila anda sempat memperhatikan berita beberapa hari terakhir ini, beberapa media nasional dan daerah kembali menyuguhkan kepada kita berita mengenai sibuknya aparat di beberapa daerah menghentikan operasional penyedia jasa tranportasi online. Setelah beberapa saat sebelumnya permasalahan ini mereda, rupanya persoalan terkait transportasi online muncul kembali ke permukaan. Sejak on-demand-mobile transportation apps mulai bermunculan, beberapa pihak sebenarnya sudah mencoba memprediksi keberlanjutan layanan transportasi, seperti misalnya yang dilakukan Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Universitas Indonesia pada awal tahun 2015.
Pada saat itu, hasil kajian tersebut meramalkan bahwa eksistensi layanan transportasi berbasis aplikasi mobile, tidak akan bertahan lama. Alasannya, karakteristik layanan transportasi berbasis aplikasi disamakan dengan karakteristik layanan 'warnet', yang tentunya akan tergerus teknologi baru yang akan muncul tidak lama kemudian. Kini dua tahun berselang dari prediksi tersebut, pada kenyataannya keberadaan layanan transportasi online masih berjalan, meskipun dengan diwarnai penolakan-penolakan di sana-sini.
Penolakan yang ditujukan kepada hadirnya layanan transportasi online berbasis aplikasi ini tidak hanya berasal dari kalangan penyedia transportasi resmi saja, akan tetapi juga berasal dari kalangan penyedia jasa transportasi informal seperti opang misalnya. Selain dari sesama pelaku usaha di bidang layanan transportasi, keberadaan layanan antar-jemput berbasis online ini ternyata juga harus beberapa kali berhadapan dengan ketentuan-ketentuan legal yang ada dan terus coba ditegakkan pemerintah.
Hal yang menarik dan kemudian menjadi pertanyaan adalah, bagaimana mungkin sebuah layanan yang oleh sebagian pihak (stakeholder) dianggap tidak sesuai aturan dan harus dihentikan, di pihak lain tetap bisa berjalan melalui celah-celah yang ada untuk melayani demandyang juga terus mengalir? Apakah ketentuan legal dalam hal ini akan mengungguli permintaan pasar, ataukah sebaliknya? Tulisan ini sedikit banyak ingin mengomentari persoalan dimaksud, dari sudut pandang gaya hidup masyarakat.
KonsumerismeDoor-to-Door
Bahwa perubahan gaya hidup masyarakat terkait dengan perubahan pola konsumsi terhadap produk maupun jasa layanan, telah menjadi bahan diskusi dari hari ke hari. Bahkan, pada pertengahan 2017 lalu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sebagaimana dikutip dalam suatu berita di salah satu laman media nasional, mengindikasikan adanya perubahan pola konsumsi masyarakat dari konvensional menjadi berbasis daring. Hal ini tentunya bisa dilihat dari menjamurnya berbagai marketplace berbasis web yang menawarkan kemudahan berbelanja, termasuk aplikasi mobile yang memudahkan masyarakat memperoleh layanan jasa transportasi. Secara tidak langsung, gairah pasar online ini menunjukkan adanya peningkatan permintaan terkait berbagai jenis produk maupun layanan yang bisa didapatkan lewat saluran internet.
Kecenderungan perkembangan permintaan masyarakat terhadap layanan transportasi berbasis daring (dalam jaringan) dapat terindikasi juga misalnya dari meluasnya cakupan layanan beberapa penyedian jasa transportasi online. Sebagaimana dilaporkan oleh salah satu penyedia jasa ojek online pada April 2017, penetrasi layanan ojek online tersebut sudah mulai merambah ke 10 kota baru di luar Jakarta. Dengan penambahan ini, total kota yang terlayani oleh layanan perusahaan tersebut saat ini mencapai 25 kota/kabupaten. Artinya, perubahan pola konsumsi masyarakat khususnya konsumsi layanan jasa trasnportasi kemungkinan kembali menjangkiti masyarakat di 10 kota baru tersebut.
Sebenarnya, hal ini bisa saja mempunyai dua konsekuensi: konsekuensi positif dan konsekuensi yang negatif. Konsekuensi positifnya jelas, diantaranya adalah terbukanya peluang kerja baru bagi masyarakat di sektor transportasi informal secara lebih efisien. Kehadiran transportasi online dapat ikut membantu pemerintah mengurangi tingkat pengangguran di tengah masyarakat. Namun demikian, konsekuensi negatifnya juga bukan tidak ada. Kehadiran jasa transportasi online lagi-lagi berpotensi menghadirkan disrupsi terhadap pola layanan transportasi umum konvensional dan informal seperti taksi, angkot, ojek pangkalan, bahkan berpotensi juga "merebut" pundi-pundi rejeki masyarakat yang lebih marginal seperti pengayuh becak misalnya.
Sepak terjang perusahaan penyedia layanan transportasi online dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dari pengembangan usaha mereka tentunya perlu mendapat perhatian kita semua. Tidak hanya pemerintah, masyarakat juga perlu berkaca dan melakukan introspeksi. Hal ini karena secara sosiologis, bagaimanapun suatu perkembangan teknologi akan membawa dampak baru bagi masyarakat. Sudah barang tentu, selalu akan muncul pro dan kontraterkait persoalan ini. Akan tetapi ada satu hal yang menurut saya masih mengganjal, ketika melihat fenomena seperti ini.
Ingatan saya kembali ke tahun 80-an akhir hingga medio 90-an, dimana waktu itu rumah keluarga kami yang berada di kawasan perkotaan (meskipun bukan kota besar) masih sering didatangi sales person yang menjajakan berbagai barang dagangan secara langsung dari pintu ke pintu (door-to-door). Saat itu, internet belumlah menggejala.
Bahkan barangkali keluarga yang di rumahnya terdapat sambungan telepon kabel (fixed line) pun baru beberapa. Para 'seles' --begitu kami menyebutnya-- sepertinya sudah satu dasawarsa lebih "sigap" dalam melihat kecenderungan perubahan pola perilaku konsumsi masyarakat, dari semula mendatangi barang yang akan ia konsumsi, menjadi didatangi barang yang akan ia konsumsi. Hanya saja, satu kesalahan mendasar para seles itu yang mungkin tidak mereka sadari adalah: selain menginginkan kemudahan, konsumen ternyata menginginkan pilihan.