Jalan-jalan pagi ke pasar Inpres kecamatan Kemayoran lumayan menemukan kepadatan yang luar biasa. Bukan hal rutin sebenarnya saya dan istri menyambangi pasar tradisional di Jakarta ini. Jadi hanya iseng-iseng belaka. Dan.. Sebelum kembali pulang ke rumah, ternyata mata istri saya rupanya jeli. Dari kejauhan dia melihat tulisan:Dawet Hitam Asli Khas Butuh, Purworejo. [caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Dawet Ireng Ala Jakarta"][/caption] "Ayah, gak beli itu?", sambil menunjuk gerobak yang mangkal tidak jauh dari tempat saya berdiri selepas membeli rambutan. Tanpa basa basi, saya mendekati gerobak berwarna putih itu. "Pak, pesan dawetnya satu. Dibungkus ya." Dengan cekatan si bapak penjual dawet hitam ini mulai meracik pesanan saya. Saya pun memperhatikan secara seksama. Pertama, ambil plastik kiloan. Lalu diciduknya dawet hitam dari dalam termos dengan menggunakan centong sayur. [caption id="" align="alignnone" width="240" caption="Satu Kresek Dawet"] [/caption] [caption id="" align="alignnone" width="240" caption="Sekantong Es Dawet Ireng, Rp.3.ooo"] [/caption] Kemudian setelah dawetnya diciduk, beralih ke stoples berisi gula cair. Diciduknya juga gula cair itu beberapa centong. Dari tempat saya berdiri, disebelah si bapak penjual, wangi gula yang sepertinya sudah dimasak dengan pandan itu dapat tercium. Berturut-turut santan dan es batu dimasukkan ke dalam plastik. Lho? Kok tidak ada tape ketannya? Terheran-heran saya melihat racikannya si bapak. "Pak, dawetnya asli Purworejo ya?", tanya saya penasaran. "Iya mas. Asli mButuh, Purworejo ngulon.", jawab si bapak sambil tersenyum. Saya pun manggut-manggut. Sepertinya yang asli Purworejo bukan dawetnya, tapi si bapak penjualnya yang asli Purworejo. Hehehe. [caption id="" align="alignnone" width="320" caption="Gombyor-Gombyor"] [/caption] Setelah membayar Rp. 3.ooo, saya dan istri kembali ke rumah dengan menggunakan jasa angkutan bajai biru. Di rumah, dengan segera saya mengambil mangkuk dan mulai membuka bungkusan yang tadi berisi dawet hitam. Dibuka dan byuuurrr!! Weh! Penuh banget mangkuknya. Gombyor-gombyor kalau saya bilang, karena "kuah"-nya banyak sekali. Sruuuppuuut! Saya pun mencicipi kuahnya. Wangi memang. Manis dan agak gurih, mungkin karena santannya. Untungnya tadi saya minta supaya es batunya jangan banyak-banyak, sehingga kuahnya tidak terlalu dingin. Lalu dawetnya. Hitam pekat dan panjang-panjang. Klenyer-klenyer rasanya dan mungkin karena saat menyaring pewarnanya kurang bersih sehingga ada sisa-sisa merang yang lolos dari saringan. :D Tak berapa lama, es dawet ireng versi Jakarta itu pun habis. Tapi ya itu... Kurang ruame dawet ireng tanpa tape ketannya. Yaaa meskipun versi kw, cukup memuaskan untuk penyegar setelah jalan-jalan. Tetap semangat jalan-jalan bersama Mas Feb jalan-jalan.. .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H