Lihat ke Halaman Asli

Febrianto Dias Chandra

Aparatur Sipil Negara di Kementerian Keuangan

Perburuan Teknologi Kuantum 2.0 dan Risiko yang Membayangi

Diperbarui: 5 Agustus 2024   11:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Dalam serial bergenre Sci-Fi "3 Body Problem", terdapat teknologi superkomputer canggih dari bangsa alien San-Ti berukuran proton yang dikenal sebagai Sophons untuk memonitor sekaligus mengontrol kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia. Dalam cerita, teknologi yang dimiliki bangsa alien San-Ti jauh mengungguli teknologi yang dimiliki manusia. Namun bangsa San-Ti paham betul di tangan manusia, teknologi bisa berkembang pesat dan menimbulkan ancaman ketika bangsa San-Ti tiba di bumi 400 tahun kemudian. Hal ini pula yang kira rasakan saat ini.

Imran Cahudhri, mantan desainer Apple dan salah satu pendiri Humane, dalam sesi dialog TED di bulan April 2023 memaparkan bagaimana di masa depan teknologi akan bergerak ke arah yang sulit kita bayangkan saat ini dimana hardware dan software di masa depan akan jauh berbeda dengan yang kita nikmati saat ini.

Teknologi berbasis kuantum (quantum-based technology) menjadi salah satu pendorongnya.  NATO bahkan telah mengumumkan pembentukan forum Komunitas Kuantum Transatlantik. Pemerintah Swiss dan Geneva Science and Diplomacy Anticipator juga meluncurkan Open Quantum Institute di CERN. Lembaga ini diharapkan dapat membantu negara-negara dalam mengembangkan kerangka normatif yang disepakati untuk komputer kuantum, yaitu mesin komputasi canggih yang dapat memecahkan masalah matematika kompleks secara eksponensial lebih cepat dibandingkan komputer konvensional.

Pengembangan teknologi berbasis kuantum bukan tanpa risiko, komputer kuantum dapat melemahkan sistem pengawasan dan kontrol untuk infrastruktur penting dan membahayakan komunikasi yang aman, termasuk data militer dan intelijen. Komunitas keamanan siber menyadari bahwa komputer kuantum dengan ukuran dan kecanggihan yang memadai dapat digunakan untuk melemahkan keamanan skema enkripsi yang paling banyak digunakan di dunia dan membahayakan segalanya mulai dari perdagangan online hingga infrastruktur penting.

U.S. National Institute of Standards and Technology (NIST) dalam beberapa tahun terakhir mulai mengidentifikasi dan memilih rangkaian algoritma kriptografi baru yang tahan terhadap kekuatan komputasi komputer kuantum yang dikenal dengan istilah post-quantum cryptography (PQC). PQC mengacu pada saat komputer kuantum berkembang ke ukuran dan kecanggihan tertentu sehingga dapat mematahkan protokol kriptografi asimetris modern dan tanda tangan digital yang diperlukan untuk mengamankan komunikasi digital dan transaksi keuangan.

Baik Gedung Putih maupun Kongres AS telah mengeluarkan perintah kepada lembaga-lembaga federal untuk mulai bermigrasi ke algoritma PQC segera setelah algoritma tersebut distandarisasi dan menyelesaikan migrasi sebanyak mungkin pada tahun 2035. Memorandum Keamanan Nasional pemerintahan Biden juga telah memperingatkan untuk memitigasi berbagai risiko yang mungkin muncul terhadap sistem kriptografi yang masih rentan.

Namun, untuk menciptakan komputer kuantum sehingga dapat memecahkan masalah yang kompleks, para peneliti masih perlu meningkatkan kapasitas hardware dan software kuantum untuk mendukung jumlah qubit yang lebih besar dalam jangka waktu yang lebih lama. IBM saat ini sedang mengembangkan prosesor multichip 1.386-qubit yang diberi nama "Kookaburra" yang diharapkan rilis di tahun 2025 setelah sebelumnya merilis IBM Q System One yang memiliki kemampuan untuk melakukan operasi kuantum kompleks dengan lebih dari 100 qubit.

Meskipun tidak ada kepastian kapan komputer kuantum skala komersial akan dikembangkan, para kriptografer khawatir akan risiko pengumpulan data yang akan terjadi pada komputer modern. Menurut fisikawan teoritis John Preskill, ini adalah era "Noisy Intermediate Scale Quantum" yang berarti bahwa masyarakat sedang berupaya mengembangkan komputer kuantum serba guna yang juga dapat ditingkatkan skalanya.

Saat ini, semakin banyak negara yang menganggap komputer kuantum sebagai suatu keharusan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dalam industri dan keamanan. Jerman menjadi salah satu negara yang bercita-cita untuk memimpin perlombaan inovasi kuantum global dan berencana untuk menginvestasikan 3 miliar untuk mengembangkan komputer kuantum universal pada tahun 2026, setengah dari total investasi 6,8 miliar ($7,2 miliar) Uni Eropa dalam proyek komputasi kuantum di tahun 2025.

Di negara lain, seperti Australia telah menerbitkan Strategi Kuantum Nasional dan menjanjikan $1 miliar untuk mempercepat inovasi kuantum. Kanada juga berencana mengalokasikan $360 juta untuk memajukan penelitian, inovasi, dan komersialisasi kuantum. Tiongkok sendiri menurut beberapa perkiraan menginvestasikan sebesar $15 miliar dalam teknologi kuantum, angka yang sangat fantastis.

Bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia, pertumbuhan teknologi kuantum belum begitu populer. Namun demikian, riset mengenai teknologi kuantum telah dilakukan oleh sejumlah lembaga dan institusi pendidikan seperti BRIN, ITB, dan Universitas Telkom. ITB sendiri pada akhir 2023 telah merilis komputer kuantum dengan kapasitas 2 qubit pertama dan satu-satunya di Indonesia bekerjasama dengan perusahaan SpinQ.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline