Lihat ke Halaman Asli

Istilah Alay yang Tidak Pantas

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sekitar 3 tahun lalu, ketika saya kecanduan chatting di HP, saya pernah ditegur oleh seorang anak SMA dalam sebuah chatting karena menyapa dengan kata “salamlekum”. Dia protes dan langsung membalas “assalamu’alaikum kak bukan salamlekum, yang bener ah nulisnya.” Terus terang saya terperanjat dan mendapat pelajaran berharga dari orang yang justru jauh lebih muda. Dan setelah itu, saya langsung menyadari kesalahan saya yang telah mempermainkan istilah Islam dengan sangat berlebihan.

Fenomena alay di jaman sekarang memang tumbuh layaknya jamur di musim hujan. Imbasnya bukan hanya penampilan dan kelakuan yang terlihat berlebihan, namun kosakata baru pun bermunculan. Kata-kata seperti “ea” (iya), “isa” (bisa), “luthu” (lucu), “bet”(banget) mendadak begitu familiar terutama di jejaring sosial dan dunia maya. Tidak sepenuhnya salah memang, karena hal ini hanyalah realita dari perubahan atau pergeseran jaman yang akan lenyap seiring berputarnya waktu. Namun ketika kosakata atau istilah alay mulai merasuk ke ranah agama yang sebenarnya sangat sakral, disinilah letak ketidakpantasannya dan justru terkesan melecehkan.

Bukan hanya “salamlekum”, seringkali kita bisa menemukan dengan mudahnya seseorang menulis dan mengucapakan “astajim” dan “astagpiloh”. Kita semua pasti bisa menebak bahwa maksud kata tersebut adalah “astaghfirullah hal adzim” yang berarti “aku memohon kepada Allah yang Maha Agung.” Saya memang tidak mengerti bahasa arab, namun dengan penulisan gaya alay seperti itu tentu dapat merubah arti dan maksudnya. Jangan sampai seseorang bermaksud memohon ampun dengan mengucap “astajim” tapi yang didapat justru murka dari-Nya.

Entah siapa yang memulai dan mempopulerkan istilah-istilah tersebut namun perkembangannya justru banyak ditiru, termasuk pengalaman saya seperti cerita di awal. Tentu istilah-istilah itu semakin popular lewat media, salah satunya adalah novel. Berbicara mengenai novel, saya pribadi pernah berhenti membaca satu novel karangan novelis dan blogger terkenal karena didalamnya seringkali menulis kata “ya olo” (Ya Allah). Sepertinya penulis novel tersebut menulis istilah “ya olo” agar menambah bumbu humor dalam novel komedinya. Namun dalam kacamata saya dan sebagian orang itu adalah sebuah penghinaan.  Sebuah istilah yang benar-benar mengusik jiwa saya waktu itu.

Umumnya bahasa arab merupakan bahasa yang amat sensitif, dengan sedikit perubahan pelafalan saja dapat merubah arti dan maknanya.  Lafadz “Allahu Akbar” misalnya yang bermakna “Allah Maha Besar”, dengan hanya memanjangkan bacaan “a” diawal menjadi“aAllahu Akbar” maknanya bisa berubah menjadi “Apakah Allah Maha Besar?”. Lihatlah perubahan makna yang begitu kontras tersebut. Lalu bagaimana jika kita dengan sengaja merubah kata dan mengucapkannya dengan gaya alay yang tentu tidak memiliki makna suci yang diajarkan oleh Rasulullah?

Kata “salamlekum”“astajim”“astagpiloh”“ya olo”, dan banyak istilah alay lain yang merasuk ke ranah agama tidaklah sepatutnya kita benarkan. Diperlukan orang-orang seperti anak SMA yang saya ceritakan diatas yang bisa menegur berbagai istilah alay yang tidak pantas.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline