Lihat ke Halaman Asli

Febrian Putra

mahasiswa

Analisis Permasalahan Nikah Muda

Diperbarui: 21 April 2024   23:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

ANALISIS PERMASALAHAN NIKAH MUDA: Pendekatan Sosial dan Kesehatan Mental

Oleh: febrian putra

Nikah muda merupakan fenomena sosial yang sering menjadi sorotan dalam berbagai konteks, terutama dalam kaitannya dengan aspek sosial, kesehatan mental, dan perkembangan individu. Dalam artikel ini, akan dilakukan analisis mendalam terhadap permasalahan yang terkait dengan nikah muda, dengan mengambil pendekatan sosial dan kesehatan mental sebagai fokus utama.

            Nikah muda, yang umumnya merujuk pada pernikahan yang dilakukan oleh individu di usia yang relatif muda, memiliki implikasi yang kompleks dalam masyarakat. Di satu sisi, tradisi dan budaya seringkali mendorong pernikahan di usia muda, sementara di sisi lain, dampaknya terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan individu tidak dapat diabaikan.

            Dari segi sosial, nikah muda sering kali terkait dengan faktor-faktor seperti tekanan budaya atau tradisi, kondisi ekonomi, serta pengaruh dari lingkungan sekitar. Misalnya, di beberapa masyarakat, pernikahan di usia muda dianggap sebagai norma yang harus diikuti, tanpa mempertimbangkan kesiapan fisik, emosional, dan mental individu yang bersangkutan. Hal ini dapat menimbulkan konflik internal dan eksternal dalam hubungan perkawinan

            Dari perspektif kesehatan mental, nikah muda dapat memberikan tekanan tambahan pada individu, terutama dalam hal penyesuaian dengan peran sebagai pasangan dan tanggung jawab keluarga. Kondisi ini dapat berdampak pada kesehatan mental seperti stres, depresi, atau kecemasan. Selain itu, kurangnya pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi juga menjadi masalah serius yang seringkali terjadi dalam konteks nikah muda.

Cara mencegah pernikahan dini:

  • Menyediakan Pendidikan Formal Memadai Ketika anak-anak perempuan dan laki-laki mendapatkan kesempatan akses pendidikan formal yang memadai, maka pernikahan dini dapat dicegah. Setidaknya, minimal anak-anak dapat menyelesaikan pendidikan SMA sebelum menikah. Riset menunjukkan, meningkatnya tingkat pendidikan dapat mengurangi jumlah perkawinan anak. Mendapatkan akses ke pendidikan formal juga membuat anak-anak memiliki kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil. Hal tersebut pada akhirnya dapat lebih memudahkan untuk mencari pekerjaan sebagai persiapan untuk menghidupi keluarga.
  • Pentingnya Sosialisasi tentang Pendidikan Seks Kurangnya informasi terkait hak-hak reproduksi seksual menjadi salah satu alasan masih tingginya pernikahan dini di Indonesia. Mengedukasi anak muda tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi seksual penting untuk dilakukan. Hal tersebut tak lepas terjadi karena masih kurangnya pengetahuan tentang hubungan seksual yang dapat mengakibatkan komplikasi kehamilan hingga dipaksa untuk menikahi pasangan mereka. Penelitian Aliansi Remaja Independen pada 2016 menunjukkan bahwa 7 dari 8 anak perempuan di Jakarta, Yogyakarta dan Jawa Timur mengaku hamil sebelum menikah. Padahal, kehamilan di usia dini dapat meningkatkan kemungkinan meninggal dua kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang hamil di usia 20-an.
  • Memberdayakan Masyarakat Agar Lebih Paham Bahaya Pernikahan Dini Orang tua dan masyarakat sekitar adalah stakeholder terdekat yang dapat mencegah terjadinya pernikahan dini. Oleh karena itu, penting untuk memberikan pemberdayaan kepada mereka terkait konsekuensi negatif dari pernikahan dini. Adanya pendidikan tersebut diharapkan dapat menginspirasi agar membela hak-hak anak perempuan dan tidak memaksanya untuk menikah dini.
  • Meningkatkan Peran Pemerintah Cara pencegahan pernikahan dini agar tidak timbulkan komplikasi kehamilan bisa dilakukan dengan mendorong peran pemerintah dalam meningkatkan usia minimum pernikahan. Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah mengatur bahwa perkawinan akan diizinkan apabila anak laki-laki dan perempuan telah mencapai usia 19 tahun. Kebijakan hukum lain yang dapat menjadi alat untuk mencegah pernikahan dini di antaranya seperti pencatatan akta kelahiran dan perkawinan.
  • Mendorong Terciptanya Kesetaraan Gender Anak perempuan lebih rentan mengalami pernikahan dini lantaran persepsi dan ekspektasi masyarakat terhadap peran domestik atau rumah tangga. Keluarga dan masyarakat cenderung menganggap anak perempuan lebih siap untuk menikah ketika sudah bisa melakukan pekerjaan rumah tangga. Sebaliknya, laki-laki justru lebih dibebaskan untuk menikah dan menjadikan kemandirian secara ekonomi sebagai kesiapan. Padahal, mau perempuan atau laki-laki memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihannya dalam menikah.

Analisis permasalahan nikah muda menggambarkan kompleksitas dan dampaknya terhadap individu dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif, diharapkan dapat ditemukan solusi yang memperhatikan aspek sosial, kesehatan mental, dan kesejahteraan individu dalam konteks pernikahan yang lebih sehat dan berkelanjutan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline