Lihat ke Halaman Asli

Basis Moral dan Kelatahan Kepala Daerah, Soal Korupsi

Diperbarui: 21 Februari 2018   21:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta-Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, maka dengan cara-cara yang luar biasa pula kita membasminya. Kata korupsi sudah menjadi kata yang tak asing bagi dunia pers, akademisi maupun masyarakat Indonesia umumnya. Masalah korupsi, masalah akut yang sudah menjadi stempel dalam kehidupan bernegara ini. 

Kosa itu membosankan karena tiap waktu, banyak yang membicarakannya tetapi anehnya malah menjadi pil penyemangat bagi koruptor, bahkan mungkin calon-calon koruptor atau akan melakukan. Barangkali ahli psikolog, perlu meriset soal mental koruptor yang tak jemu-jemunya berkelit lincah menggeroggoti uang negara untuk kekayaan dirinya maupun kelompoknya. Eichman mengatakan mereka mengalami sensibilitas moral secara konstan yang hilangnya rasa malu secara permanen.

Sejak 2018 ini, empat Kepala Daerah, yakni, Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, Bupati Ngada Marianus Sae, Bupati Subang Imas Aryumningsih terjaring dalam OTT KPK. Tak heran, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyebutnya seperti fenomena serial killer karena penangkapan para kepala daerah pelaku korupsi cenderung terjadi berantai dan beruntun hingga beberapa kali.

Tersangka Marianus Sae, selaku Bupati Ngada periode 2015 - 2020 diduga menerima hadiah atau janji dari WIU selaku Direktur PT S99P terkait proyek-proyek di Pemerintah Kabupaten Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur. Uang tersebut diduga diberikan WIU selaku kontraktor yang sejak 2011 menjadi rekanan Pemkab Ngada terkait proyek-proyek pembangunan jalan dan jembatan di Kabupaten Ngada. Imas menjabat Bupati Subang , Ojang Suhandi yang juga terjerat KPK karena menyuap jaksa terkait dengan penyelewengan anggaran BPJS 2014. Sebelumnya, Bupati Subang periode 2008-2013, Eep Hidayat, lebih dulu berurusan dengan KPK karena korupsi biaya pungut PBB Kabupaten Subang tahun 2005-2008 senilai Rp2,5 miliar.

Letupan ini, bukan tanpa sebab yang dilakukan Komisi Pemberatan Korupsi (KPK), bukan juga petir di siang bolong, karena begitulah watak dan mental penguasa kita, hal ikhwal Republik jenaka. Gagasan birokrasi bersih bagi semua Kepala Daerah harus menjadi garda terdepan dalam membangun daerah, bukan mendompleng penuh keangkuhan, untuk meraup hak rakyat yang merupakan empunya daulat kekuasaan.

Pertanyaannya, apakah Kepala Daerah kita, konsisten menjaga daulat publik dengan tidak bermental korup? Pertanyaan yang sebenarnya selesai dijawab, tetapi nyatanya berbalik dengan jawaban itu. Sampai saat ini, saya belum melihat ada gagasan mutlak akademisi untuk memberantas korupsi. Barangkali menurut saya, diperdayakan ahli Psikolog, ahli agama dan moral untuk melenturkan korupsi negeri ini. Eichman di Yerusalem: banalitas kehajahatan, dan Hannah Arendt memperkenalkan kejahatan adalah semua produk dari orang-orang biasa yang menerima ajaran dan resep dari sistem moral rusak. Itu sebuah cerita menarik tentang asal-usul jahat ketika dia membuat pada tahun 1963; Hal ini juga sebuah cerita menarik tentang korupsi yang kita katakan di sini, Edmond J. Safra mengenai pusat etika.

Dalam meneropong kasus korupsi di negeri ini, terlallu banyak variabel yang harus kita sikapi bersama. Adanya, praktek-praktek lain di mana agen menerima uang yang kemudian digunakan untuk membiayai kegiatan politik, yang "politik langsung investasi" karena pasca kepala derah yang bersangkutan menang, maka si empunya penguasa akan membarterkan investasi politiknya ke dalam proyek-proyek di daerah tersebut. Ini erat kaitannya pengaruh politik kesetiaan. Penyuapan biasa yang melibatkatkan Kepala Daerah, Partai Politik atau pun swasta (dalam kaitan investasi/bisnis) untuk membiayai kegiatan politik si Kepala Daerah.

Mengidentifikasi jenis-jenis korupsi dengan kesempatan yang lebih besar untuk memaksimalkan utilitas aktor menyebabkan lebih banyak kerusakan pada birokrasi serta tatanan kehidupan bermasyarakat. Semakin tinggi utilitas ekonomi untuk merusak agen, maka lebih terdistorsi investasi publik, dan semakin tinggi kenaikan biaya transaksi yang mempengaruhi pasar. Semakin tinggi utilitas politik, semakin terdistorsi tujuan adil negara dan representasi dari pejabat publik.

Untuk mencegah korupsi, hal ini diperlukan untuk mengembangkan kerangka hukum yang lebih baik dan kontrol institusi yang meningkatkan biaya yang tidak terlihat untuk berbagai jenis korupsi. Hal ini dicapai melalui skema visibilitas ke agenda pejabat publik, transparansi mekanisme untuk akuisisi publik dan kebijakan publik berbasis bukti kuat.

Basis Moral

Saya kadang-kadang miris melihat aktor itu di media, cara bicaranya seksi, menyegarkan dahaga saat bicara soal korupsi. Saya masih ingat bagaimana kedua Guru Besar kita, Prof. Mahfud MD dan Prof. Romli berdebat soal korupsi. Sama menariknya ketika banyak akademisi atau masyarakat berbicara korupsi, menarik saya menyoroti kesulitan lama tentang istilah "korupsi" dan penggunaannya dalam ilmu sosial dan politik. Aku tidak ingin memukul masalah, ketika akademisi kehabisan ide-ide, berdebat tentang definisi korupsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline