Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ada 2.275 kasus penganiayaan anak pada tahun 2011, 887 di antaranya adalah penganiayaan seksual anak.
Pada tahun 2012, ada 3.871 kasus kekejaman terhadap anak, 1.028 kasus di antaranya adalah kekejaman seksual terhadap anak muda. Pada tahun 2013, dari 2.637 kekejaman terhadap anak-anak, 48% atau sekitar 1.266 adalah kekejaman seksual terhadap anak-anak. Kekerasan terhadap anak muda mencapai 931 kasus pada tahun 2013.
Otoritas publik juga bergerak dengan hadirnya peraturan keamanan anak untuk mengelola kasus kebrutalan anak, karena anak-anak Indonesia adalah masa depan yang paling penting bagi negara karena mereka adalah ujung tombak yang akan menciptakan usia cemerlang mulai sekarang.
Dengan memberikan jaminan, pemulihan cedera, menginspirasi korban penyalahgunaan anak, dan selanjutnya memberikan administrasi konseling.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia juga berperan dalam menangani kasus-kasus termasuk anak-anak. Korban atau pelaku yang dihadapkan pada kasus kekejaman harus mengakui kebebasannya, misalnya mendapatkan pertolongan, pengelolaan, pertolongan yang halal, dan tidak disiksa oleh negara.
Berbagai jenis kekerasan anak
Penganiayaan secara fisik: Kekerasan yang mencakup kontak langsung secara langsung dengan seorang anak dan diperkirakan akan menimbulkan sensasi meneror, atau kesengsaraan yang sebenarnya.
Penganiayaan psikologis adalah pengobatan yang menghasilkan ketakutan, kehilangan kepercayaan diri, kehilangan kapasitas untuk bertindak, merasa lemah, dan lebih jauh lagi penderitaan mental yang serius.
Kekejaman seksual atau pelecehan seksual adalah demonstrasi kebutuhan untuk menjadi seperti kata-kata atau perlakuan yang dilakukan oleh pelaku untuk mengendalikan orang lain untuk menyebabkan dia berpartisipasi dalam gerakan seksual yang tidak diinginkan.
Rendahnya kesadaran wali dalam memberikan pendidikan dan jaminan kepada anak-anak merupakan salah satu variabel penyebab meluasnya kasus kebiadaban seksual (Wahyuni, 2020).
Pengabaian adalah perlakuan di mana orang dewasa yang sadar mengabaikan untuk memberikan persediaan yang cukup untuk kebutuhan yang berbeda, termasuk ketidakmampuan yang sebenarnya untuk mengakomodasi kebutuhan esensial dan opsional.