Qawaid fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi, kata qaidah jamaknya qawaid berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama). Para ulama yang menyebutkan qawaid fiqhiyyah adalah aturan-aturan yang mengatur perbuatan-perbuatan mukallaf. Qawaid fiqhiyyah atau Islamic legal maxim memiliki porsi penting dalam metode istinbath ahkam. Dia merupakan satu disiplin ilmu untuk memformulasikan dalil-dalil yang bersifat umum menjadi penunjang dalam menjabarkan sebuah hukum yang tak disebutkan dalam nushus.
Islam sangat memperhatikan perekonomian umatnya, hal ini dapat dilihat dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur'an, Sunah, maupun Ijtihad para ulama yang berbicara tentang perekonomian. Bahkan ayat terpanjang pada Al-Qur'an yakni surah Al-Baqarah ayat 282 memiliki isi tentang permasalahan perekonomian. Al-qur'an secara penuh sebagai pegangan hidup umat Islam telah mengatur kegiatan bisnis secara eksplisit, dan mengandung bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan.
Dalam qawaid fiqhiyyah terdapat beberapa kaidah yang berhubungan langsung dengan transaksi keuangan, berikut beberapa kaidahnya :
1. Kaidah "Pengikut itu Mengikuti."
yang dimaksud oleh kaidah tersebut adalah bahwa sesuatu yang pada zatnya mengikuti kepada yang lain, maka hukumnya pun mengikuti kepada yang diikuti. Misalnya seperti, janin yang ada pada dalam kandungan merupakan sesuatu yang tersambung pada induknya dan menjadi bagian induknya. Maka, hukum dalam transaksi keuangannya ialah haram seperti transaksi jual beli anak hewan ternak yang masih dalam kandungan. Seseorang biasa membeli unta masih dalam kandungan, hingga induk unta melahirkan, kemudian anak itu melahirkan lagi.
2. Kaidah "Apa yang Haram Digunakan, Haram Pula Didapatkannya."
Maksud dari kaidah tersebut ialah terhadap segala yang diharamkan penggunaannya baik dimakan, diminum, dipakai ataupun lainnya, maka haram juga mengusahakan untuk mendapatkannya. Contoh pada kaidah ini, yakni Seorang muslim meniatkan untuk membeli khamar dan daging babi maka niatnya tersebut juga dinyatakan haram karena meniatkan sesuatu yang haram dibeli.
3. Kaidah "Apabila sesuatu itu batal maka batallah apa yang didalamnya."
Kaidah tersebut terdapat pada surah Al-Nisa ayat 29, yakni "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-sama diantara kamu". Maksud dari qaidah fiqhiyyah muamalah di atas, bahwa apabila dalam bertransaksi salah seorang membatalkan akadnya, maka batal pula apa yang di dalamnya. Kata bathl dalam bahasa diartikan dengan batal lawan dari shah. Dalam sehari-hari pun kita dapat melihat contoh dari kaidah ini, seperti ibu kita membeli barang dengan menawar harga kepada penjual dan penjual mengiyakan harga tersebut, namun ketika penjual membatalkan harga tawaran tersebut, maka batal juga terhadap barang yang telah diterimanya.
4. Kaidah "Yang dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan maknanya, bukan lafazh dan susunan strukturnya."
Maksud dari kaidah tersebut ialah ketika kita mengatakan sesuatu tergantung kepada niat yang kita ucapkan. Contohnya seperti seseorang yang berniat menginvestasikan uangnya kepada salah satu bank yang akan memberi bunga yang besar. Dari sini kita dapat melihat maksud dari seseorang tersebut dalam menginvestasikan uangnya demi bunga yang dalam Islam termasuk riba.
5. Kaidah "Apa yang dilarang untuk diambil, maka dilarang juga untuk diberikan."
Makna dari kaidah tersebut ialah bahwa apa yang haram diperolehnya, maka akan menjadi haram pula memberikan kepada orang lain. Contoh penerapan kaidah tersebut seperti seorang penjudi menanamkan modal usaha kepada orang lain agar uangnya dikelola dengan baik, maka modal tersebut bisa dikatakan haram (dilarang) dalam kaidah ini karena uang modal tersebut didapatkan dengan hasil judi.
Dari beberapa kaidah diatas kita dapat mengetahui bahwa banyak kaidah-kaidah yang berhubungan dengan ibadah madhah, muamalah atau transaksi ekonomi. Maksud dari kaidah-kaidah tersebut ialah dapat memudahkan kita untuk mengerti lebih dalam mengenai transaksi ekonomi dalam Islam. Kaidah-kaidah fiqh dalam bidang ekonomi bertugas menjustifikasi dan melegitimasi seluruh aktifitas ekonomi umat Islam dalam berbagai bidang transaksi ekonomi, baik yang terkait dengan transaksi-transaksi mono-akad maupun multi-akad. Maka kaidah-kaidah fiqh yang menjustifikasi adalah yang berkaitan dengan transaksi al-ijarah muntahiyah bi al-tamlk atau lebih dikenal dengan IMBT. Demikian seterusnya pada permasalahan ekonomi lainnya di lembaga keuangan syariah menjadi sah dengan menggunakan qawaidh fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).
Referensi
Washil N.F (2009). Qawaid Fiqhiyyah, Jakarta: Sinar Grafika Offset
Azhari F. (2015). Qawaid Fiqhiyyah Muamalah , Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat
Zein A.I.M, Januri F. (2023). Konsep dan Implementasi Kaidah Fiqhiyah Tentang Syirkah. Vol. 7, No. 1 April 2023, Hal : 306-324
Ibrahim D. (2019). Al-Qawaid AL-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih). Palembang: CV. Amanah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H