Lihat ke Halaman Asli

Febiola Putri

mahasiswa

Positivisme Hukum dalam Kasus Penistaan Agama: Analisis dan Implikasinya dalam Hukum Indonesia

Diperbarui: 26 September 2024   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

Positivisme hukum adalah salah satu aliran utama dalam filsafat hukum yang menekankan bahwa hukum adalah seperangkat aturan yang diakui dan diberlakukan oleh otoritas yang sah, tanpa terikat dengan pertimbangan moral. Aliran ini memiliki pengaruh besar dalam berbagai sistem hukum modern, termasuk di Indonesia, yang mengadopsi pendekatan hukum positif dalam banyak aspek tata hukumnya. Artikel ini akan membahas konsep positivisme hukum, mengaitkannya dengan kasus penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada tahun 2016, serta menganalisis relevansi dan kritik terhadap pendekatan ini dalam sistem hukum Indonesia.


Positivisme Hukum: Konsep dan Mazhab Utama

Positivisme hukum menyatakan bahwa hukum adalah aturan yang dibuat dan diberlakukan oleh otoritas yang sah, dan tidak harus sesuai dengan moralitas. Dalam pandangan ini, hukum positif menjadi satu-satunya sumber kewajiban hukum, dan keabsahan hukum diukur berdasarkan kepatuhan terhadap prosedur dan otoritas yang sah, bukan dari sisi adil atau tidaknya aturan tersebut.

Terdapat beberapa mazhab utama dalam positivisme hukum, di antaranya:
1. Positivisme Hukum Murni (Hans Kelsen): Kelsen menganggap hukum sebagai sistem norma yang terstruktur secara hierarkis. Bagi Kelsen, hukum harus dipisahkan dari nilai-nilai moral, dan hanya hukum yang berasal dari otoritas yang sah yang dapat dianggap sah.
   
2. Positivisme Imperatif (John Austin): Austin melihat hukum sebagai perintah dari penguasa yang harus ditaati oleh masyarakat. Hukum adalah perintah yang diberikan oleh entitas berdaulat, yang memiliki kekuatan untuk menjatuhkan sanksi jika dilanggar.

3. Positivisme Konvensional (H.L.A. Hart): Hart menambahkan nuansa terhadap pandangan Austin dengan membedakan antara aturan primer (yang mengatur perilaku) dan aturan sekunder (yang mengatur pembuatan dan penerapan aturan primer). Hart juga memperhitungkan bahwa hukum harus diterima dan diakui oleh masyarakat untuk efektif.

Kasus Penistaan Agama: Studi Kasus Ahok 2016

Pada tahun 2016, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Gubernur DKI Jakarta saat itu, menjadi subjek kontroversi setelah diduga melakukan penistaan agama terkait pernyataannya tentang salah satu ayat Al-Quran. Kasus ini menyebabkan gelombang protes besar, dan pada akhirnya Ahok dijatuhi hukuman dua tahun penjara setelah dinyatakan bersalah oleh pengadilan berdasarkan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama.

Jika dianalisis dari sudut pandang positivisme hukum, keputusan ini murni didasarkan pada penerapan hukum positif yang berlaku saat itu, yakni Pasal 156a KUHP. Pengadilan tidak mempertimbangkan niat, interpretasi pribadi, atau aspek-aspek moral yang lebih dalam, melainkan fokus pada apakah tindakan Ahok melanggar hukum tertulis. Dalam hal ini, pendekatan positivisme hukum yang diterapkan pengadilan mengikuti prinsip bahwa aturan hukum harus ditegakkan sebagaimana adanya, terlepas dari apakah aturan tersebut adil atau tidak menurut standar moral atau sosial.

Positivisme Hukum dalam Sistem Hukum Indonesia

Sistem hukum Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi hukum Eropa Kontinental, yang cenderung menitikberatkan pada kodifikasi dan aturan tertulis. Hal ini menjadikan positivisme hukum sebagai pendekatan yang dominan dalam penerapan aturan hukum di Indonesia. Kasus-kasus seperti penistaan agama Ahok memperlihatkan bagaimana hukum positif diterapkan secara tegas tanpa mempertimbangkan faktor moral atau sosial yang lebih luas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline