Lihat ke Halaman Asli

Febi M. Putri

Penulis Paruh Waktu

Curhat Suka Duka Menjadi Relawan Covid-19

Diperbarui: 2 Januari 2022   20:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi relawan Covid 19 (Sumber gambar via kompas.com)

Bulan Januari dan Juli 2021 adalah fase terberat bagi kita di mana puncak gelombang Covid-19 terjadi. 

Saat itu aku masih bertugas di sebuah rumah sakit rujukan Covid-19 sampai hampir setahun lamanya. 

Pasien silih berganti, datang dan pergi. Tidak semua kembali ke rumah dan berjumpa dengan keluarga, beberapa dari mereka benar-benar "pergi" meninggalkan dunia dan kehidupannya.

Tidak pernah terbayang dalam benakku bahwa pandemi akan melanda hampir bersamaan dengan legalnya diriku sebagai dokter di Indonesia. 

Saat aku kuliah dulu pun tidak ada modul khusus yang mempelajari tentang penanganan pandemi. 

Bisa dikatakan saat itu pandemi hanyalah sebuah istilah dan dongeng-dongeng masa lalu. Maka, bagaimana bisa kita siap menghadapi situasi sulit itu?

Antara benci dan cinta, begitulah perasaan yang aku rasakan sebagai seorang dokter relawan Covid-19. 

Benci ketika harus menanggalkan pakaian terbaik dan jas putih dokter dengan bordiran nama serta gelar yang tersemat. 

Sebagai gantinya, selembar plastik yang bernama hazmat atau cover-all harus dikenakan menutupi seluruh badan. 

Tak lupa dilengkapi dua lapis sarung tangan, masker N95 yang dibalut masker bedah di atasnya, face shield, dan sepatu boat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline