Lihat ke Halaman Asli

[FKK] Mitos

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Febby Litta - 39

Mbah Joyo mulai menorehkan angka-angka di kertas yang telah disiapkan. Bersiap menghitung peruntungan penyatuan kami berdasarkan weton. Aku mulai gelisah, meremas-remas tanganku. Telapak tanganku terasa basah berkeringat. Sementara itu doa-doa tak hentinya aku rapalkan dalam hati. Berharap weton kami sesuai untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Mataku mulai memanas. Ku kerjapkan mataku menahan diri untuk tidak menangis. Aku rasa aku tak akan mampu menahan jika kali ini tidak cocok lagi. Arah sudah tidak “ngalor-ngulon”. Orang tuanya masih lengkap. Hanya tinggal satu syarat ini. Jika kali ini gagal, aku tak mau mencari lagi.

Beberapa kali jalinan percintaanku gagal menuju pelaminan. Bukan karena orang ketiga, bukan pula karena tak cocok lagi. Tapi karena aturan-aturan yang masih dipegang erat oleh keluarga besarku.

Sebagai anak pertama dengan orang tua yang masih lengkap, aku dilarang untuk menikah dengan laki-laki yang orang tuanya tidak lengkap. Mungkin salah satunya meninggal, ataupun menghilang entah kemana. Alasannya adalah jika aku menikah dengannya maka salah satu orang tuaku pun akan meninggal. Awalnya aku berusaha mengelak. Ku katakan pada mereka bahwa itu hanya mitos. Tapi itu hanya membuat mereka marah. Mereka mulai menceritakan tentang tetangga-tetangga yang memaksa menikah dengan kondisi seperti itu, dan tidak lama orang tuanya meninggal.

“Kamu berharap orang tuamu cepat meninggal, Ndug?” selalu kalimat itu yang mereka gunakan untuk membuat aku diam.

Statusku sebagai anak pertama semakin mempersulit langkahku. Aku dilarang pergi dari rumah karena aku yang diharapkan merawat kedua orang tuaku. Ini bukan mitos, namun harapan terbesar mereka kepadaku. Hingga ketika dulu kekasihku melamar, dan menyatakan akan membawaku serta pergi dinas ke luar daerah. Dengan tegas mereka menolak. Tidak peduli sudah sejauh dan selama apa hubungan kami.

Ini ketiga kalinya aku dilamar. Usiaku sudah meginjak kepala tiga. Aku sudah hampir putus asa. Adik perempuanku, dua tahun lebih muda dariku mendesak agar aku segera menikah. Dia sudah menemukan pujaan hatinya dan merencanakan untuk segera menikah. Aku adalah halangan terbesar mereka untuk menikah. Terdapat sebuah aturan lagi bahwa seorang adik tidak boleh mendahului kakak perempuannya untuk menikah. Dengan alasan akan membuat kakak perempuannya semakin kesulitan mendapatkan jodoh.

Kepalaku terasa hampir meledak karenanya. Hingga kemudian aku bertemu dengan pria itu. Baru beberapa bulan kami berkenalan namun sudah merasakan kecocokan. Aku tak mau gagal lagi. Dari pertama ketika dia berkata ingin serius menjalin hubungan denganku, telah aku jelaskan berbagai macam aturan yang dipegang erat dalam keluargaku. Dia hanya tersenyum dan berkata “Kita akan melaluinya”.

Aku menatap sosok itu. Kami duduk berhadapan. Dia dan kedua keluarga besarnya duduk berhadapan dengan keluarga besarku. Senyumnya lembut menenangkan, semakin membuatku ingin menangis.

“Tuhan, aku mohon lancarkan.” Doaku dalam hati.

Suara berat Mbah Joyo menghentikan lamunanku. Beliau telah selesai menghitung. Perhitungan weton kami adalah 3 dan 5. Artinya bahwa jika kami menikah nanti, maka kami akan cepat berpisah. Pernikahan kami tidak bertahan lama. Mbah Joyo menyerahkan keputusan selanjutnya kepada kedua keluarga besar kami. Apakah akan melanjutkan rencana ini dengan resiko tersebut atau membatalkan sekarang juga.

Aku kembali menatap sosok itu. Hasilnya tidak terlalu buruk. Aku mengangguk. Dia membalasnya dengan senyum.

“Kami akan melanjutkan. Kami sudah membicarakan resiko-resiko tersebut sebelumnya. Dan kami memutuskan untuk menjalani bersama. Apapun resikonya. Jadi kami mohon kepada Bapak-Ibu semua untuk merestui kami.” Mas Pras mengatakannya dengan suara tegas dan tenang. Mengatakan dengan cepat sebelum yang lain berbicara dan memutuskan untuk kami.

Kedua keluarga terdiam. Saling pandang. Aku melihat Bapak. Bapak tersenyum. Senyum Bapak seakan melepaskan batu besar yang menindihku. Aku paham apa arti senyum Bapak.

Sebagai anak yang terlahir dalam suku Jawa. Aku tak bisa menghindari tradisi-tradisi yang telah dipegang erat oleh leluhurku. Pun berbagai mitos yang dipercaya selama puluhan tahun. Meskipun begitu aku percaya, Tuhan akan memberikan jalan terbaik. Memberikan apa yang aku butuhkan tanpa melanggar tradisi dan mengecewakan keluarga serta para leluhur.

***

Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community

Silakan bergabung di group FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline