JENDELA YANG TERBUKA
23 Oktober 2011 - 09.27 WIB
“Bibi saya akan segera turun, Tuan Nuttel,” ujar seorang remaja lima belas tahun yang sangat tenang. “Sementara menunggu, Anda akan saya temani.”
Framton Nuttel berusaha keras untuk mengungkapkan pujian kepada sang keponakan itu tanpa terlalu mengabaikan bibinya yang hampir tiba. Secara pribadi dia meragukan lebih dari apapun apakah kunjungan formal sebagai orang asing ini dapat sedikit berguna untuk membantu pengobatan syaraf yang sedang dijalaninya.
“Aku tahu apa yang akan terjadi,” kakaknya pernah mengatakan ini saat dia bersiap untuk pindah ke tempat pengasingannya di desa. “Kau akan menimbun dirimu sendiri di sana dan tidak bisa berbicara pada jiwa-jiwa yang hidup, dan syarafmu akan lebih parah dari sebelumnya karena selalu muram. Aku hanya bisa mengirimkan surat perkenalan atas dirimu kepada orang-orang yang kukenal di sana. Beberapa dari mereka, seingatku, cukup baik.”
Framton bertanya-tanya apakah Nyonya Sappleton, salah satu wanita yang juga dikirimi surat perkenalan atas dirinya, termasuk yang baik juga.
“Apakah anda mengenal banyak orang di sekitar sini?” tanya gadis itu lagi, setelah beberapa lama mereka berdiam diri.
“Sangat sedikit,” jawab Framton. “Kakakku pernah tinggal di sini, di rumah pendeta, kau tahu kan… sekitar empat tahun yang lalu, dan dia mengirimkan surat perkenalan atas diriku pada beberapa orang di sini.”
Dia mengucapkan kalimat terakhir dengan tekanan yang agak mengandung penyesalan.
“Dan Anda tidak mengenal bibi saya dengan baik ya?” desak gadis yang tenang itu.
“Hanya nama dan alamatnya,” akunya. Dia bertanya-tanya apakah Nyonya Sappleton ini berstatus menikah atau janda. Ada sesuatu yang tak dapat dijelaskan mengenai ruangan yang lebih memiliki sentuhan maskulin ini.
“Tragedi terbesarnya terjadi di sini tiga tahun yang lalu,” ujar gadis itu, “Waktu kakak Anda di sini.”