Lihat ke Halaman Asli

Febby Firmansyah

MAHASISWA SOSIOLOGI FISIP UNIVERSITAS JEMBER

Realitas Para Penyandang Disabilitas: Potret Nyata Implementasi UU Disabilitas di Jember

Diperbarui: 3 November 2022   09:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret Abdullah sebelum berangkat bekerja. (Sumber : Dokumen Pribadi)

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa adanya bantuan dari orang lain. Setiap manusia selalu hidup berdampingan dan saling membutuhkan. Ada manusia yang hidup dengan kondisi sempurna sejak lahir dan ada manusia yang lahir dengan keistimewaannya. Salah satu nya adalah kelompok penyandang difabel. Penyandang difabel adalah orang yang memiliki kemampuan yang berbeda daripada orang pada umumnya.

 Berada di Kabupaten Jember, tepatnya di Kecamatan Bangsalsari, Jawa Timur. Terdapat seorang penyandang difabel. Abdullah (44), penyandang difabel sejak berusia 2 tahun. Hal itu terjadi karena penyakit polio yang dideritanya. Abdullah bekerja sebagai seorang pedagang aksesoris keliling dengan motor roda tiga hasil modifikasi nya serta memiliki pekerja sampingan yakni penjahit sol sepatu dan kasur. 

Dengan keterbatasannya Abdullah sangat giat mencari nafkah, meskipun kini Abdullah telah ditinggalkan istrinya setahun lalu, namun hal tersebut tidak menjadi batasannya dalam menghidupi keluarganya. Abdullah memiliki semangat yang tinggi dan selalu memotivasi teman-teman penyandang difabel yang lain untuk dapat bangkit dari keterpurukan. Meskipun Abdullah mampu melakukan kegiatan selayaknya orang normal lainnya, Abdullah memiliki pengalaman yang tidak mengenakkan karena permasalahan inklusivitas bagi kaum difabel terutama di pelayanan publik. 

Inklusivitas adalah pengakuan atau penghargaan terhadap eksistensi mengenai perbedaan dan keberagaman yang ada. Dalam hal ini, semua orang harus diberlakukan dan dihormati dan pantas mendapatkan penghargaan tanpa adanya diskriminasi dan tindakan semena-mena. Inklusivitas jelas merujuk pada Undang-Undang Disabilitas yang tertuang pada Bab III UU No.8 tahun 2016 mengenai kesamaan hak serta kewajiban yang ada. Pada pasal 5, "Setiap penyandang cacat memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan". Aspek dalam UU ini meliputi aspek kesehatan, agama, sosial, rekreasi, politik, informasi, hukum, ketenagakerjaan, pelayanan umum, pendidikan, ekonomi, pertahanan ekonomi, olahraga dan informasi. Dalam pasal 19 juga disebutkan bahwasanya setiap penyandang difabel berhak untuk mendapatkan akomodasi pelayanan publik yang layak, wajar, optimal dan bermartabat tanpa diskriminasi serta mendapatkan penerjemah, pendampingan terhadap akses pelayanan publik tanpa adanya tambahan biaya yang dikeluarkan.

Namun pada kenyataannya, dalam aspek pelayanan publik dan aksesbilitas, Abdullah membagikan pengalaman yang buruk. Sebagai penyandang difabel, dirinya merasa kecewa dan marah.

 "Ketika saya mengantarkan istri saya melahirkan anak pertama, tepat di depan rumah sakit saya memarkirkan kendaraan bermotor roda tiga saya di depan Unit Gawat Darurat (UGD), hal ini saya lakukan karena tempat parkir yang ada di rumah sakit tersebut sangat jauh dengan UGD. Sehingga, satpam dan pekerja disana berbondong-bondong datang menemui dan memarahi saya karena parkir di tempat itu. Perlakuan yang semena-mena ini yang membuat saya marah karena tidak adanya akses yang mudah untuk kaum difabel terlebih dengan keadaan kaki saya yang seperti ini, sudah sangat jelas tidak memungkinkan. Pada akhirnya pekerja dan satpam di rumah sakit itu meminta maaf kepada saya". Ujar Abdullah saat wawancara tersebut. Abdullah juga bergabung sebagai anggota dalam komunitas PERPENCA (Persatuan Penyandang Cacat) yang membantu dirinya untuk kembali bangkit dan berani untuk melanjutkan hidupnya. Abdullah memiliki jiwa yang besar untuk memperjuangkan kaum difabel terlebih pada hak-hak penyandang difabel.

Permasalahan yang dialami oleh Abdullah ini sangat relevan dengan apa yang dijelaskan Talcott Parsons tentang sistem sosial, dalam buku "Teori Sosiologi Modern" melalui prespektif George Ritzer. Pertama, sistem sosial harus terstruktur sehingga dapat beroperasi secara harmonis dengan sistem lainnya. Kedua, mampu untuk menjaga kelangsungan hidup sehingga harus mendapatkan dukungan dari sistem yang lain. 

Ketiga, sistem sosial harus bisa memenuhi kebutuhan setiap aktor-aktornya untuk menciptakan keseimbangan yang signifikan. Keempat, sistem juga harus bisa mewujudkan partisipasi yang mumpuni dari para anggotanya. Dan yang kelima, sistem sosial juga diharuskan bisa mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu.

Pengalaman Abdullah sebagai penyandang difabel, akibat kekurangannya dianggap tidak mampu untuk menciptakan proporsi sistem sosial yang signifikan, maka dari itu sistem sosial dianggap gagal karena kebutuhan hak setiap aktornya tidak terpenuhi. Terutama pada lembaga rumah sakit yang tidak memberikan fasilitas untuk penyandang difabel

Tantangan dalam hal ini adalah sudah seharusnya penyandang difabel mendapatkan hak-hak nya didalam aspek pelayanan publik dan aspek lainnya. Sehingga adanya undang-undang bukan hanya menjadi payung hukum yang palsu. Pemerintah dan masyarakat sudah seharusnya menumbuhkan sikap empati dan mewujudkan pengimplementasian undang-undang ini secara bersama-sama.

Nama Penulis:

1. Evi Diana Sari 200910302047

2. Erviana Candrivianitra 200910302023

3. Febby Firmansyah 200910302097

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline