"Assalamu'alaikum, Pak ...."
"Wa'aikumussalam, Bu Guru? Ada apa?"
Fahri tak sadar bahwa suara di seberang bernada sangat panik, karena dia tengah diterpa rasa bahagia saat melihat kotak ponsel di tangan untuk putri semata wayangnya.
Eca---putrinya, tidak pernah meminta ini itu padanya, tapi Fahri tahu bahwa Eca sangat menginginkan ponsel sebagaimana anak lain seusianya. Apalagi sekolahnya menjelang SMA.
Gadget itu adalah hasil kerja kerasnya menabung selama setengah tahun. Pekerjaannya adalah tukang bangunan gedung. Fahri sangat menanti saat sekarang, di mana dia membeli dan memberikannya kepada putrinya. Fahri ingin melihat reaksinya bahagianya.
"Pak Fahri ... bisakah hari ini bapak datang ke sekolah?"
Mendengar suara isak tangis guru Eca di seberang telepon, langkah Fahri berhenti. Senyum di wajahnya memudar dengan digantikan ekspresi serius yang tegang. "Ada apa, Bu Guru?"
"E-ca ... Pak ... putri Bapak bunuh diri."
Deg!
Seketika dunia Fahri runtuh. Telinganya berdengung keras. Ia menjatuhkan ponselnya dan ponsel baru di tangannya menatap kosong jalanan yang buram. Pupil matanya menyusut dengan wajah memutih pucat.
Tidak pernah terpikirkan oleh Fahri, putrinya satu-satunya, keluarga satu-satunya, yang selalu tersenyum ceria menyambutnya pulang di rumah, akan bunuh diri dengan melompat dari gedung sekolah.
~*~