Tiap sore kami berdua selalu duduk manis
Disamping gerobak es pak Kumis
Sembari menunggu dua mangkuk es campur
Dari pak Kumis yang telah berusia uzur
Kebiasaan kami selalu mengenakan celana jeans robek-robek
Dan Kaos sederhana setengah bermerek
Walaupun penampilan kami selalu mengundang rasa iba
Kami tak perduli! Yang penting pak Kumis bahagia
Dengan kehadiran kami berdua
Yang selalu menjadi pelanggan setianya
Kami berdua cukup beruntung..., terlahir sebagai anak orang terkaya di kampung. Kami tak pernah angkuh apalagi congkak dengan apa yang kami punya. Ayah selalu mengingatkan kami, “Bila kami ingin menjadi pemimpin besar maka berbaurlan sejak dini dengan mereka yang tak kenal lelah berjuang dalam hidup. Buanglah jauh bendera kekayaan dan kehebatan kalian. Tampilah sederhana dan apa adanya sekalipun itu terlihat miris di mata orang! Niscaya kalian akan tau isi hati masyarakat kecil dengan tulus.”
“Itulah pelajaran berharga yang tak akan kalian dapat di bangku sekolah formal.” Kata ayah kepada kami berdua.
“Ayah..., kalau kami besar nanti! Kami ingin menjadi orang besar!” seru kami berdua dengan kompaknya.
“Nah..., kalau kalian kelak menjadi seorang pemimpin besar jangan lupakan kisah kalian bersama sang kakek tua pedagang es campur itu. Walaupun dia sudah renta dia tetap berjualan es campur agar bisa hidup. Pedagang kecil seperti mereka harus kalian perjuangkan agar mendapatkan perhatian serius dari pemerintah untuk mengembangkan usahanya. Agar mereka bisa tetap bersaing dengan pedagang-pedagang modern di pasar global kelak.” Itulah nasehat sang Ayah tercinta kepada kami berdua.
“Oh! Pasti, Ayah!” seru kami dengan semangatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H