Muqaddimah
Sebelum masuk dalam pokok pembahasan kemerdekaan manusia atau ikhtiar dan keharusan universal atau takdir yang dalam bahasa inggris masing-masing memiliki padanan kata free will dan predestination, kita harus memahami terlebih dahulu konsep manusia yang menjadi subjek dan juga objek dalam pembahasan ini.
Ada tiga istilah kunci dalam memahami konsep manusia dalam Al-Qur'an, yaitu basyar, insan dan al-nas. Istilah basyar memiliki pengertian yang bersifat biologis manusia. Perbuatan manusia yang merujuk istilah ini yaitu makan, minum, berjalan-jalan di pasar, raut wajah dan bersetubuh (QS Ali-Imran: 33, QS Al-Furqan: 20, QS Yusuf: 88). Kegiatan manusia yang lainnya seperti rasa lapar, haus, bahagia, sedih dan menangis merupakan ciri manusia sebagai makhluk biologis.
Sedangkan istilah insan memiliki tiga konteks pembahasan. Pertama, menjelaskan manusia sebagai makhluk yang diberi ilmu dan diajarkan bahasa konseptual (QS As-Syu'ara: 4-5, QS Ar-Rahman: 3). Artinya, manusia diberikan kemampuan untuk berfikir dengan akal memiliki daya penalaran.
Kedua, menjelaskan manusia dengan predisposisi (kecenderungan untuk menerima atau menolak sesuatu berdasarkan pengalaman dan norma yang dimilikinya) negatif. Manusia cenderung zalim dan kafir, tergesa-gesa, bakhlil, bodoh, suka berbantah dan berdebat, resah, gelisah, susah dan menderita, tidak berterima kasih dan suka berbuat dosa dan meragukan hari kiamat (QS Ibrahim: 34, QS Bani Israil: 11, 37, 100, QS Al-Hajj: 66, QS Al-Ahzab: 72, QS Al-Kahfi: 54, QS An-Nahl: 4, QS Maryam: 66).
Ketiga, menjelaskan proses penciptaan manusia yang dinisbahkan pada konsep insan dan basyar sekaligus. Sebagai insan, manusia diciptakan dari tanah liat dan sari pati tanah. Sementara itu, sebagai basyar manusia berasal dari tanah liat dan air. Menurut Yusuf Qardhawi, manusia adalah gabungan dari kekuatan tanah dan hembusan Ilahi, yang pertama unsur material dan yang kedua unsur rohani atau yang pertama unsur basyari dan yang kedua unsur insani (Al-Aqqad dalam Tarigan, 2007: 70).
Kemudian, istilah al-nas mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial. Indikasi manusia sebagai makhluk sosial dapat dilihat pada frasa yang digunakan Al-Qur'an seperti ungkapan wa min al-nas (di antara manusia). Al-Qur'an memperkenalkan tipologi kelompok. Ada manusia yang bertaqwa, kafir dan munafik. Di samping itu, Al-Qur'an juga mengindentifikasi manusia sebagai makhluk yang hanya memikirkan kehidupan dunia, berdebat tanpa ilmu, petunjuk dan memusuhi kebenaran (QS Al-Baqarah: 200, 204, QS Al-Hajj: 3).
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa Al-Qur'an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, intelektual, spiritual dan sosial. Manusia sebagai basyar berkaitan dengan unsur fisik-material, hingga pada keadaan ini manusia secara alami tunduk (muyassar) pada takdir Allah sama seperti tunduknya matahari, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Namun, sebagai insan dan al-nas diberi kekuatan untuk memilih (ikhtiyar), sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Pada diri manusia ada predisposisi negatif dan positif sekaligus. Menurut Al-Qur'an, kewajiban manusia untuk memenangkan predisposisi positif. Ini bisa terjadi bila manusia tetap setia pada amanah yang diembannya dan tidak memungkiri fitrahnya yang suci.
Konsep manusia sebagai basyar, insan dan al-nas menjadi fondasi dalam memahami proses ikhtiar dan takdir. Dalam sejarah perkembangan Teologi Islam kita mengenal aliran Jabariyyah dan aliran Qadariyyah dimana keduanya saling bertentangan satu sama lain. Aliran Jabariyyah menganggap manusia tidak memiliki kebebasan dalam berkehendak, bertindak dan berpikir karena semua jiwa dan raganya telah ditentukan oleh Tuhan. Manusia dalam pandangan Jabariyyah seperti robot atau drone yang dikendalikan dari jarak jauh. Sedangkan pandangan aliran Qadariyyah menganggap manusia memiliki kebebasan dalam bertindak dan memiliki otoritas atas perbuatannya. Baik atau buruknya merupakan kehendak dirinya. Sangat bertolak belakang dengan aliran Jabariyyah. Kemudian, saking alotnya perdebatan dan pandangan kedua aliran diatas, maka masa-masa sesudahnya semakin mengkristal dan menjadi perdebatan antara aliran Asy'ariyah dan aliran Mu'tazilah.
Aliran Mu'tazilah memiliki pola pikir rasional dan sistematis yang menganggap akal mempunyai kedudukan yang sama dengan wahyu dalam memahami agama. Disamping itu, aliran ini berkembang pesat karena invansi pengaruh Hellenisme ke dunia Islam. Alhasil, karena berpikir rasional dan sistematis itu merupakan tuntutan alami agama Islam, maka penalarannya di bidang lain seperti bidang Hukum (Syari'ah) yang dirintis oleh Imam Syafi'i, perumus pertama prinsip-prinsip Yurisprudensi (Ushul Fiqh). Pemikiran rasional dan sistematis tersebut tidak hanya menimbulkan keterbukaan terhadap alam pikiran Yunani, tapi bahkan untuk tujuan keagamaan. Maka bagi aliran Mu'tazilah, manusia memiliki kebebasan untuk mewujudkan keinginan, kehendak dan perbuatannya. Konsekuensinya, manusia harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukannya. Jika berbuat baik, maka Allah berkewajiban untuk memasukkannya ke surga, begitu juga sebaliknya. Inilah yang mereka maksud doktrin keadilan Tuhan (al-'adl al-Illahi). Tuhan wajib berbuat adil dengan memasukkan orang saleh ke surga dan memasukkan orang yang ingkar ke negara (Tarigan, 2007: 114).