Lihat ke Halaman Asli

Fadhil Muhammad

penulis lepas

Terjebak Formalisme Barat dan Timur

Diperbarui: 7 Januari 2021   14:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: dialogilmu.com

Saya sempat berpikir mengapa perguruan tinggi di Barat mendirikan Pusat Studi Islam, Pusat Studi Agama Samawi, Pusat Sejarah Perabadan Timur, dan pusat studi yang berhubungan dengan Dunia Timur. Padahal mereka tidak mempunyai otoritas untuk menilai bagaimana perkembangan Dunia Timur. Awalnya memang begitu, namun pandangan saya berubah. Dalam perjalanan menuju Dunia Timur, Barat baik itu Spanyol atau Portugal memiliki semangat Glory, yang berorientasi dengan kekuasaan atau kejayaan.

Ketika mereka datang ke Dunia Timur, mereka berpikir untuk menguasai suatu wilayah membutuhkan pengetahuan tentang objek yang akan dikuasai. Seperti halnya pembalap mobil jika ingin memenangkan pertandingan harus mengetahui medan yang ditempuh. Ia harus mengetahui berapa tikungan, berapa belokan, berapa lubang jalan, tingkat kecepatan mobil dan kemampuan mobil melalui jalan tersebut. Oleh sebab itu mereka mempelajari bahasa, kebiasaan, tingkah laku, geografi, sifat dan budaya Timur untuk dipahami lalu ditundukkan. Hal inilah yang dilakukan Colombus, Cornelis, Alfonso, ataupun penjajah lainnya.

Ketika Barat menginvansi dunia Timur, mereka tidak hanya membawa tentara dan senjata, tetapi juga membawa sarjana dan Ilmuwan untuk mempelajari apa saja yang ada di Dunia Timur. Peristiwa ini didorong oleh semangat Kebangkitan Eropa dimana Eropa mulai bangkit secara intelektual dengan menterjemahkan buku-buku yang dijual oleh bangsa Mongol setelah mereka menjarah Bait al-Hikmah di Baghdad, sehingga ada pergeseran tujuan yang semula hanya sebatas kepentingan penjajahan menjadi dedikasi terhadap ilmu pengetahuan.

Objek kajian pun meluas menjadi beberapa bidang seperti arkeologi, filologi, etnologi, sosiologi, geografi, antropologi, psikologi, flora dan fauna, adat istiadat, ekonomi, politik, sejarah, literatur dan bahkan agama. Para ilmuwan Eropa benar-benar totalitas dalam mengkaji Dunia Timur.

Coba analisa ketika Inggris menjajah Mesir. Inggris tidak hanya menjarah sumber ekonomi dan menundukkan pribumi, tapi juga mengkaji ilmu kepurbakalaan yang ada di Mesir (Arkeologi). Peneliti didatangkan dari Jerman, Prancis, Inggris hanya untuk meneliti benda-benda purbakala di Mesir. Bahkan ada benda purbakala Mesir yang disimpan di Museum London. Selain itu banyak juga naskah-naskah kuno yang disimpan di museum. Ini menunjukkan bagaimana dedikasi Barat terhadap kebudayaan Timur.

Atau coba analisa ketika Belanda mencoba menjajah Indonesia selama 350 tahun. Kasus penyamaran Snock Hourje di Aceh membuktikan bahwa ia benar-benar totalitas dalam mengkaji agama Islam. Walaupun tujuannya untuk mencari kelemahan tapi disana kita dapat mengetahui bagaimana karakteristik agama Islam di Aceh pada saat itu, dan bagaimana kita menyelaraskan dengan Islam di Indonesia dengan karakter Islamnya masing-masing. Selanjutnya, dalam dunia filologi dan kesusastraan. Leinden, salah satu kota di Belanda yang menyimpan ribuan naskah kuno milik kerajaan-kerajaan Nusantara.

Lagi, coba analisa tokoh pembaharuan Islam dan pemikir neomodernis, Fazlur Rahman asal Pakistan yang mengenyam pendidikan Timur (Pakistan) dan Barat (Oxford, Durham). 

Sebelum dia menjadi Guru Besar Pemikiran Islam di University of California, LA. Ia menjadi Pemimpin Lembaga Riset Islam di Pakistan. Namun beberapa tahun kemudian, berbagai penolakan atas pemikirannya muncul dan akhirnya ia meninggalkan Pakistan lalu hijrah ke Amerika. Harun Nasution dan Nurcholish Madjid adalah muridnya yang menjadi pembuka gerbang pembaharuan Islam di Indonesia.

Inilah alasan yang menyebabkan menjamurnya pusat studi yang berkaitan dengan Dunia Timur di Barat. Baik itu dalam bidang arkeologi, antropologi, sosiologi, kesusastraan, politik, ekonomi dan Agama Samawi. Bagi sebagian orang, ketika kita (orang Timur, plus beragama Islam) hendak bealajar ke Barat, selalu mendapat pertanyaan besar, mengapa harus belajar ke Barat? Tidakkah cukup ilmu yang dimiliki oleh Timur? Yang paling sensitif, mengapa harus belajar Islam ke sekolah-sekolah Barat? Padahal tidak ada salahnya ketika kita belajar ke Barat. Karena memang ada perbedaan mendasar antara Barat dan Timur. Jika Barat memiliki semangat keilmuan yang tinggi karena faktor rasionalismenya sedangkan Timur memiliki sikap memegang teguh budaya yang telah mengakar kuat termasuk agama (menurut Barat).

Jadi tidak ada salahnya ketika kita belajar ke Barat dalam ranah keilmuan. Meminjam istilah Hasan Hanafi seorang intelektual Mesir, yaitu Oksidentalisme adalah bahwa perlunya pengkajian kembali atas ilmu-ilmu Timur yang telah dikaji oleh Barat. Sehingga Timur tidak hanya menjadi konsumen ilmu-ilmu Barat, tetapi mengkritisi, mengkaji kebenaran dan kevalidannya. Singkatnya, jika dahulu Barat menjadikan Timur sebagai objek kajian, sekarang giliran Timur yang menjadikan Barat sebagai objek kajian.

*Tulisan pada tahun 2017




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline