Konflik Israel-Palestina yang tak kunjung mereda telah memunculkan berbagai narasi buruk tentang Yahudi. Orang-orang Yahudi harus menanggung beban atas kesepakatan kolektif masyarakat internasional yang kerap menarasikan bahwa konflik Israel-Palestina merupakan isu keagamaan dan Yahudi merupakan musuh bersama. Salah satu konten di kanal Youtube Remotivi menggambarkan bingkai yang diciptakan media menyoal Yahudi amatlah "buram", hingga masyarakat menaruh prasangka negatif terhadap mereka.
Pernyataan tersebut dibuktikan dengan data. Pada tahun 2014, The Anti-Defamation League menerbitkan sebuah laporan yang menyatakan bahwa 48% masyarakat Indonesia yang berusia 18 hingga 50 tahun ke atas secara tidak langsung bersikap anti-semit. Sebanyak 54% memiliki anggapan negatif terhadap Yahudi dan 75% setuju bahwa banyak orang yang mereka kenal memiliki pandangan negatif terhadap Yahudi.
Mengapa kita begitu membenci Yahudi? Benarkah Yahudi merupakan akar dari konflik Israel-Palestina? Untuk menjawabnya, kita perlu memahami siapa sebenarnya orang-orang Yahudi itu.
Terdapat perdebatan dalam mengartikan siapakah orang-orang Yahudi itu. Pada satu sisi, Yahudi diartikan sebagai sebuah agama atau kepercayaan. Dalam pengertian ini, Yahudi/Yahudiah/Yudaisme merupakan agama monoteis yang berkembang di kalangan orang-orang Ibrani. Sebagai sebuah kepercayaan, Yudaisme merupakan fenomena kompleks dari cara hidup orang-orang Yahudi yang terdiri dari teologi, hukum, dan tradisi budaya yang tak terhitung banyaknya. Dalam pengertian ini, orang-orang yang menganut Yudaisme merupakan orang-orang Yahudi.
Karena itu, penganut Yudaisme adalah serupa dengan orang-orang yang menganut ajaran Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Sikhisme, bahkan Zoroastrianisme. Mereka mengambil Yahudi sebagai kepercayaan, dan dengannya, mereka beragama Yahudi. Sebagaimana saya mengambil Islam sebagai kepercayaan, dan dengannya, saya seorang Muslim. Juga sebagaimana orang-orang Persia abad ke-6 SM mengambil Zoroastrianisme sebagai kepercayaan sehingga mereka disebut sebagai pengikut Zoroaster (pelopor berdirinya agama monoteis tertua ini).
Di sisi lain, beberapa ahli menjelaskan bahwa Yahudi merupakan sebuah etnis. Dalam pengertian ini, orang-orang Yahudi tidak dilihat berdasarkan kepercayaan mereka terhadap Yudaisme, melainkan berdasarkan garis keturunan. Mereka yang lahir dari orangtua (kedua atau salah satunya) Yahudi atau mereka yang dibesarkan dalam lingkungan Yahudi dapat diidentifikasi sebagai orang Yahudi.
Orang-orang yang menganggap diri mereka Yahudi meski tidak memiliki orangtua Yahudi atau dibesarkan di lingkungan Yahudi pun dapat mengidentifikasi diri sebagai Yahudi (biasanya mengetahui bahwa pendahulunya merupakan orang Yahudi). Dalam pengertian Yahudi sebagai etnis, darah Yahudi diwariskan secara turun-temurun. Sebagaimana darah Batak diturunkan secara patrilineal, atau Padang diturunkan secara matrilineal.
Dengan kedua pengertian ini, tampaknya sangat tidak beralasan jika kita terus-terusan membenci Yahudi. Sebab, memeluk agama dan/atau menjadi bagian dari sebuah etnis bukanlah sebuah kesalahan atau kejahatan. Bukankah tidak ada yang disakiti atau terenggut hak-haknya akibat seseorang menganut agama dan/atau merupakan bagian dari etnis tertentu?
Hingga akhirnya, kita sampai pada zionisme. Zionisme merupakan hal yang berbeda dari Yahudi. TRT World dalam salah satu konten di kanal youtube-nya menjelaskan bahwa zionisme merupakan gerakan politik dan nasional yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara di Timur Tengah. Sebuah artikel berjudul "Zionism and Jewish History" yang ditulis oleh Alan Taylor pada 1972 menyatakan bahwa zionisme pertama kali muncul sebagai doktrin nasionalisme Yahudi, yang bertentangan terhadap kecenderungan asimilasi dengan warga dunia.
Perez Smolenskin merupakan pendiri paham ini. Smolenskin beranggapan bahwa karakteristik nasional bangsa Israel jauh lebih mengakar ketimbang sejarah keagamaannya. Menurutnya, Israel muncul karena sentimen nasional, bukan karena hukum. Sehingga Yahudi, dalam pandangannya, adalah lebih dari sekadar kepercayaan. Smolenskin ingin orang-orang Yahudi menjadi seperti kebanyakan negara bangsa lain dalam kehidupan kolektif mereka, dan karena itu budaya bangsa Yahudi berbeda dari negara bangsa lain.
Sebagai tindak lanjutnya, pada 1897, Theodor Herzl membentuk World Zionist Organization. Herzl menganjurkan pendirian negara Yahudi di Palestina. Jatuhnya Kesultanan Utsmani dan berakhirnya Perang Dunia I membuat emigrasi orang-orang Yahudi dari Eropa ke Palestina yang baru saja diduduki Inggris berlangsung secara terus menerus pada awal abad 20.