Lihat ke Halaman Asli

F. Chaerunisa

Mahasiswa

Perlukah Pembatasan Musik?

Diperbarui: 28 Februari 2019   13:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Beberapa waktu lalu, sempat ramai soal RUU Permusikan yang menuai kontroversi. Banyak sekali pihak yang menolak RUU tersebut. Selain membatasi kebebasan berekspresi, terdapat pula pasal karet di dalamnya (Koalisi Musisi memperdebatkan Pasal 5 yang dianggap sebagai pasal karet). RUU Permusikan juga dianggap tidak esensial, ia mengatur hal yang seharusnya tidak perlu diatur.

Belum sempat RUU itu disahkan, baru-baru ini, tepatnya kemarin (27/2), KPID Jawa Barat menetapkan sebuah regulasi yang mengakibatkan 17 lagu Barat masuk ke dalam kategori lagu "dewasa" dan hanya boleh diputar mulai pukul 22.00 hingga 03.00. Daftar lagu tersebut tertuang dalam Lampiran Surat Edaran No. 480/215/IS/KPID-JABAR/II/2019.

Tentu saja, khalayak ramai-ramai memperbincangkan keputusan tersebut. Tidak hanya media Indonesia yang ramai merespon, media ternama luar negeri seperti Independent, Times, dan The Guardian juga turut menyebarluaskan regulasi baru ini. Bahkan, Bruno Mars yang salah satu lagunya termuat dalam kategori "dewasa" versi KPID Jabar pun meresponnya dengan bercuit,

"Untuk Indonesia, aku memberi kalian beberapa lagu yang sehat, "Nothin' on You", "Just the Way You Are", dan "Treasure". Jangan menyerangku dengan penyimpangan seksual itu."

Sebenarnya, lagu itu apa, sih?

Sejatinya, lagu adalah sama dengan karya seni lain. Ia merupakan perwujudan ekspresi sang penulis atau penyanyi yang dituangkan dalam kata-kata berbentuk lirik yang dilengkapi dengan nada-nada. Merupakan suatu kebebasan untuk menciptakan lagu, mulai dari lirik hingga nadanya---asal tidak menjiplak karya orang lain---dan tentu saja, merupakan sebuah kebebasan pula untuk mendengarkan lagu alias hasil karya orang lain.

Tidak ada yang salah dari mengekspresikan diri lewat lagu. Yang namanya ekspresi diri, bisa lewat mana saja, kan? Tentu saja, ekspresi berasal dari individu masing-masing. Biasanya, faktor utama yang menjadi main theme dalam sebuah lagu merupakan perasaan sang penulis, budaya yang berkembang di masyarakat tempat penulis tinggal atau menetap, atau pemikiran dan tanggapan penulis mengenai suatu hal.

Jika kita perhatikan, saat ini memang marak lagu Barat yang liriknya sangat sesuai dengan budaya mereka terutama kebebasan. Berhubung kebebasan ini mencakup segala aspek, maka kehidupan seksual juga dilandasi kebebasan. Alhasil, beberapa lirik lagu yang tercipta juga mengandung unsur seksual.

Persis dengan di negara kita. Berapa banyak lagu yang mengulik soal cinta? Banyak, karena masyarakat kita begitu terkagum-kagum dengan cinta. Berapa banyak lagu religi tentang Tuhan dan pembelajaran agama? Pun banyak, masyarakat Indonesia, kan, religius semua. Ingat lagu "Sayur Kol" yang sempat viral karena dinyanyikan seorang bocah Medan? Ada orang yang menciptakannya, berarti ada budaya yang melandasinya.

Lalu, salahnya di mana?

Jika mengacu pada regulasi yang dikeluarkan KPID Jabar, maka bisa dikatakan bahwa kesalahan lagu-lagu "dewasa" itu ada pada liriknya yang "too pornographic". Para pembuat kebijakan beranggapan bahwa lirik yang terlalu vulgar itu bisa memicu degradasi moral di kalangan masyarakat, khususnya mereka yang di bawah umur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline