Seberapa sering kita mendengar frasa "ikhlas karena Allah"? Bapak-bapak di masjid kerap menyebutkan rangkaian kata tersebut. Para dermawan juga kerap menyebutkannya. Mereka yang menghibahkan pakaian, makanan, sembako dan segala keperluan untuk korban bencana juga tidak jarang melabeli diri dengan "ikhlas karena Allah". Para pemuka agama---terutama Islam---sangat sering menyuarakan pentingnya "ikhlas karena Allah". Bahkan, sholat pun diniatkan "lillahi ta'ala".
Banyak sekali kajian-kajian tentang keikhlasan karena Tuhan Yang Maha Esa, dan karena saya pribadi adalah seorang muslim, maka saya sangat sering mendengar frasa tersebut. Salah satu pengertian yang melekat pada pikiran saya adalah bahwa ikhlas karena Allah Yang Maha Tinggi dapat berarti melakukan segala sesuatu tanpa mengharapkan apapun dari siapapun kecuali dari Allah. Pertanyaannya, benarkah "ikhlas karena Allah" adalah bentuk keikhlasan?
Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang kini bisa diakses lewat daring, mendefinisikan ikhlas sebagai, "bersih hati; tulus hati". Sedangkan kata "bersih" sendiri dapat berarti bening dan tidak berkeruh; bebas dari kotoran; tidak tercemar; tidak dicampur dengan unsur atau zat lain dan; asli.
Dalam konteks frasa "ikhlas karena Allah", kita tidak mungkin menyamakan ikhlas atau bersih di sini dengan "tidak tercemar" atau "bebas dari kotoran" karena Tuhan tidak mungkin berarti sebuah pencemaran dan tidak pula kotor. Maka, mari kita anggap bahwa "ikhlas" di sini setara dengan "tidak dicampur dengan unsur atau zat lain".
Ikhlas yang berarti tidak dicampur dengan unsur atau zat lain memiliki makna ketidakterikatan antara kata sifat "ikhlas" dengan suatu apapun, baik itu objek maupun subjek. Ikhlas merupakan suatu sifat yang dengan pengertian itu, ia bisa dikatakan tidak boleh terikat dengan apapun karena tidak dicampur dengan unsur lain.
Sedangkan "ikhlas karena Allah" berarti mencampur kata "ikhlas" itu sendiri dengan "karena Allah". Ada sebuah reasoning di dalam "ikhlas" itu sendiri yang tidak lain dan---tidak lain---menyangkutpautkan Allah (Tuhan) sebagai objek dalam frasa tersebut. Artinya, "ikhlas" disana sudah tidak asli lagi karena telah dicampur dengan unsur lain.
Tanpa sadar, ketika kita mengatakan "ikhlas karena Allah", kita juga mengharapkan sesuatu dari-Nya. Entah itu pahala atau keridhaan yang merupakan sebuah klise dari imbalan yang diharapkan manusia dari Allah setelah berbuat ikhlas karena-Nya. Seabstrak apapun imbalan itu, tetap ada yang ingin dicapai manusia dalam berbuat ikhlas karena Allah yang kemudian membuatnya tidak lagi melakukan sesuatu secara tulus (sungguh dan bersih hati). Maka, apakah dengan begitu akan melenyapkan esensi ikhlas? Jika ya, mengapa? Karena ikhlas sesungguhnya tidak terikat dengan apapun dan tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Maka, ikhlas, yang tidak dicampur oleh unsur atau zat lain, jika diikuti oleh unsur lain setelah penggunaannya tidak bisa dikatakan ikhlas lagi. Pada hakikatnya, ikhlas adalah kerelaan dari dalam diri kita, tanpa dilatarbelakangi suatu hal apapun sehingga menjadi ketulusan dari hati tanpa mengharapkan imbalan apapun dari siapapun. Ini tidak berlaku jika dilanjutkan dengan "karena faktor lain" karena ikhlas menjadi tidak tulus dan asli lagi.
Lantas, apakah "ikhlas karena Allah" adalah salah? Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H