Beberapa batang paha tanpa penutup yang sibuk hilir mudik di televisi pagi ini mengundang celetukan penasaran dari sebuah suara yang masih begitu muda. "Sepertinya mereka itu wanita-wanita cerdas, kok ?"
Cerdas?
Benarkah?
Jika kecerdasan adalah kemampuan berucap hi gaaiiis, wow...emeeeizing,surrprraaaiiss....so swiiiittt ~ dengan logat memble yang dimanja-manjakan, serta huruf R yang bergemuruh seperti kunyahan kerupuk, ya berarti mereka memang cerdas. Kalau kecerdasan adalah kemampuan untuk menyadari bahwa diri tidak punya satupun yang layak diketengahkan selain bentuk fisik, mereka sangatlah cerdas. Andai kecerdasan adalah kelihaian mengayun badan dalam balutan pakaian serba kekecilan, wah, angkat topi! Mereka tidak hanya cerdas. Mereka jenius.
Celetukan di atas seakan mengingatkan bahwa sejarah sedang mengulang kembali kisah lama, meskipun dalam narasi yang agak berbeda. Cerita tentang sebuah masa dimana kaum Hawa diinjak dihinakan. Bedanya, narasi sekarang lebih miris; kaum Hawa mencoreng arang di kening sendiri sembari terbahak.
Kaum Hawa telah melalui jalan yang tak kalah merahnya dari jalan kaum Adam. Bahkan pada titik-titik tertentu sejarah mereka lebih berdarah. Pada beberapa kesempatan, wanita berhasil mematut diri, untuk kemudian menyadari bahwa mereka cerdas, haruscerdas,dan mencerdaskan! Apalah daya sebuah bangsa tatkala generasinya dilahirkan dan diasuh oleh wanita-wanita yang tidak cerdas, dan tidak mencerdaskan.
Ketika kesadaran ini mengejawantah, sungguh tiada makhluk yang berajalan di muka bumi seanggun wanita. Ini, adalah masalah besar. Saatnya bagi musuh bangsa untuk menelurkan plot baru. Ketika wanita mulai cerdas, dan mencerdaskan, adalah waktunya untuk memelintir pemahaman tentang kecerdasan itu sendiri. Mega proyek semacam ini tentunya bukan barang baru. Sejarah mencatat bahwa kejahatansudah setua kebaikan itu sendiri. Berbagai macam ide busuk dimasak, ditebarkan demi hancurnya kaum Hawa, hingga mereka bertransformasi menjadi virus-virus mematikan yang membelah diri dengan sendirinya.
Bangsa ini dibombardir dengan ide cerdas berarti modern, dan modern berarti cerdas. Sederhana! Namun kata modern itu sendiri, segagah apapun bunyinya hinggap di telinga, sebagus apapun redaksi penjabarannya di berbagai kamus, pada prakteknya tidak lebih dari ungkapan penyerahan diri pada tuntutan zaman -- baik, ataupun buruk.
Sementara kecerdasan, meskipun juga menjunjung tinggi ide 'penyerahan diri', justru berseberangan dengan ide praktis kata modern. Ketundukan yang dilahirkan oleh kecerdasan adalah ketundukan di hadapan hasil dari sebuah observasi objektif, proses penyaringan yang tidak melibatkan kepentingan apapun, selain tuntutan nurani. Kecerdasanakan melahirkan kepatuhankepada keindahan dan keelokan sejatitanpa harus mengorbankanlogika danhati nurani.
Selama manusia mampu memanfaatkan logika, membuka telinga bagi bisikan nurani, hanya selama itulah mereka layak bertitelkan manusia. Tapi ibarat mereka yang saban hari berjibaku dengan tumpukan sampah, bau sampah bukan lagi menjadi masalah besar. Kebobrokan yang disajikan dengan rajin dan rutin, pada akhirnya akan menggerus rasa, dan bukan tidak mungkin berujung pada pembenaran.
Maka tidak usah heran ketika ajang-ajang kecantikan yang tak lebih dari ajang pamer paha dan dada dipandang begitu anggun dan mempesona. Tak perlu heran ketika ayunan pinggul di atas karpet merah dipandang begitu jelita, padahal sebenarnya tidak lebih dari kegiatan prostitusi dalam polesan berbeda.