Lihat ke Halaman Asli

Menyiasati Partisipasi Perempuan 30%

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Untuk mendorong partisipasi perempuan di bidang politik, mulai Pemilu 2004 Indonesia mengenal pendekatan afirmatif kuota keterwakilan perempuan 30% pencalonanAnggotaDewan Perwakilan Rakyat di pusat dan daerah. Upaya-upaya serupa, yang dikenal sebagai pengarus-utamaan gender (gender mainstreaming), sesungguhnya sudah dimulai lama sebelumnya, khususnya oleh masyarakat sipil di kota. Namun memang baru pada tahun 2000 Pemerintah mengapresiasi dengan menerbitkan InstruksiPresiden(Inpres) No. 9Tahun2000tentang PengarusutamaanGender.

Tujuan pendekatan afirmatif itu tentu saja positif, yakni mendorong partisipasi perempuan dalam politik secara optimal, yang hingga hari ini diarahkan untuk memenuhi angka kritis 30%. Angka itu sendiri ditetapkan lewat referensi akademis, yang menunjukkan bahwa pengaruh publik akan signifikan manakala didukung oleh sekitar sepertiga kelompok (Marle 1995). Dalam literatur klasik tentang negara-negara berkembang, kontribusi perempuan diperhatikan khususnya setelah ahli pembangunan dari Denmark Ester T. Boserup mengkaji peranan perempuan dalam pembangunan ekonomi (Boserup 1970).

Tak urung peran perempuan dalam bidang politik baru memperoleh perhatian pada tahun-tahun sesudahnya. Demokrasi menuntut sistem perwakilan yang memungkinkan semua kelompok masyarakat terwakili dan tidak ada kelompok yang ditinggalkan dalam pengambilan keputusan. Namun sejak gagasan demokrasi dipraktikkan, parlemen tidak pernah mewakili secara optimal dan produktif terhadap semua kelompok yang ada di masyarakat. Kenyataan ini menyebabkan parlemen sering mengeluarkan kebijakan yang justru mendiskriminasi kelompok masyarakat yang diklaim diwakilinya.Kendati demikian, penetapan quota 30% ternyata tidak otomatis mendorong tercapainya gagasan ideal ini lantaran, langsung atau tak langsung, dijegal oleh pragmatisme politik kepartaian.

Tetap saja dipinggirkan

Fakta di depan mata kita menunjukkan bahwa quota 30% perempuan dalam calon legislatifdi tiap partai ternyata disiasati oleh sistem rekrutmen partai begitu rupa justru untuk menyelisihi tujuan penetapan quota itu. Dalam Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 jumlah dan persentase perempuan di DPR memang meningkat, yaitu masing-masing 61 orang atau 11,09 persen pada Pemilu 2004 dan 101 orang atau 17,86 persen pada Pemilu 2009. Angka itu jelas masih jauh dari angka ambang 30%, yaitu angka minimal di mana suara perempuan diperhatikan dalam kehidupan publik.

Di sisi hulunya, yang bertanggungjawab atas terjadinya hal itu adalah pola rekrutmen caleg yang dikuasai oleh mind set maskulin. Dalam partai yang dikuasai laki-laki fenomena sedikitnya caleg perempuan dalam pelbagai level dan daerah pemilihan (dapil) kerap terjadi. Bahkan itu juga terjadi pada partai yang dipimpin tokoh perempuan; bahkan sesudah UU No 10/2008 yang memuat affirmative action 30% itu.

Tidak dipungkiri, hal itu juga terjadi karena idealnya untuk menjadi caleg dituntut konsekuensi sosial-finansial yang relatif tinggi. Yakni, dia seharusnya berada pada tingkat “keberterimaan sosial” yang cukup, baik karena garis-darah atau kiprahnya di tengah masyarakat; selain itu juga kuat secara ekonomi.

Hanya karena UU Pemilu tegas mewajibkan 30% caleg di suatu dapil partai tertentu itu perempuan, maka partai-partai “terpaksa” memenuhinya. Namun, kita juga mafhum bahwa peminggiran caleg perempuan juga merupakan cara-cara yang lazim digunakan.

Di sisi hilir, untuk meningkatkan partisipasi perempuan seperti itu terdapat kendala berikut ini:

(1)Kendala faktual bahwa di tiap dapil itu jumlah kursi maksimal hanya 10 (untuk DPRD) sampai 12 (untuk DPR). Yang artinya dari sekian partai(12 pada Pemilu 2014) niscaya bakal sulit satu partai memperoleh 3 kursi saja [di mana di situ ada caleg perempuan];

(2)Kendala regulasi [Pasal 214 Ayat a] bahwa “Calon terpilih ... ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP”;

(3)Kendala regulasi [Pasal 214 Ayat b] bahwa “Dalam hal calon yang memenuhi ... jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% dari BPP”;

Itulah yang menjelaskan mengapa pada pemilu mendatang jumlah perempuan di DPRD/DPR niscaya relatif tidak akan berubah dibanding Pemilu 2009 atau Pemilu 2004. Pada kedua pemilu itu prosentasenya sebagai berikut: Calon Anggota DPR Perempuan sebanyak 33,00% pada 2004 dan 34,70% pada 2009; sedangkan yang terpilih masing-masing 11,09% dan 17,86%.

Apalagi paradigma maskulin akan membuat partai menghadapi kondisi dilematis, yakni: karena mengelak dari quota itu tidak mungkin, namun untuk memenuhinya mengharuskan partai berhadapan dengan resistensi sistem internalnya sendiri. Walhasil, yang terjadi kemudian adalah pola penyikapan yang menarik dicermati, yang bisa dibedakan menjadi dua pendekatan:(1) Instrumental, yakni partai memilih caleg perempuan sekadar untuk memenuhi quota dan/atau menjadi instrumen pencitraan kepada masyarakat; (2) Substansial, di mana partai memilih caleg perempuan dengan persiapan dan rekrutmen yang esensinya memadai sebagai calon wakil rakyat.

Membangun posisi tawar

Dalam konteks ini, perhatian kita pada yang pertama. Dalam hal ini caleg perempuan kemungkinan memang kurang memiliki posisi tawar yang memadai; baik karena kapasitas dirinya atau karena kondisioning lingkungan partainya. Perempuan yang belum berpengalaman di dunia politik, misalnya muka baru atau artis atau muka-lama dalam percaturan sosial non-politik, berpeluang untuk mengeluarkan kelewat banyak ongkos politik.

Hal itu terjadi melalui pelbagai cara. Pertama, perempuan sebisa-bisa akan diletakkan di posisi yang dinilai kurang strategis, yakni nomor besar. Bahkan dengan pola zigzag, nomor kecil umumnya diduduki laki-laki. Cara yang lain, yang kedua, adalah peminggiran dalam dapilnya, yang dimungkinkan karena yang bersangkutan belum memiliki jam terbang yang memadai di dunia politikyang kaya intrik. Cara ini terjadi justru dalam internal partai, lantaran sebelum mulai kampanye, “serangan” dari partai lain belum lagi dimulai.

Cara ketiga, yang kemungkinan sama besarnya untuk terjadi, perempuan diletakkan di dapil yang “kering” untuk partainya. Atau kalau toh ditempatkan di dapil “basah”, alasan karena dia pendatang baru maka dia ditempatkan di nomor urut bawah. Tentu ada kemungkinan ada variasi lain dalam hal ini.

Pertanyaannya, bagaimana perempuan dengan posisi regulasi seperti itu bisa bertahan secara lebih baik? Ada sebuah jawaban atas pertanyaan ini, namun berlaku khusus sekarang ini sampai hari penetapan DCS menjadi DCT — menurut Peraturan KPU 11/2012 waktunya adalah 30 Juli 2013. Jawabannya adalah: gunakan argumen ambang 30% sebagai posisi tawar. Uraiannya sebagai berikut.

Setiap partai yang akan memenuhi ambang 30% caleg perempuan, biasanya memenuhi angka tersebut secara mepet. Yakni hanya sedikit di atas angka 30% saja. Dengan demikian jika sampai terjadi 1 orang saja yang mundur, maka angka afirmatif 30% itulangsung guncang alias tidak terpenuhi. Lihatlah tabel rekap keterwakilan perempuan yang selalu disusun oleh KPU level mana pun.

Nah, titik itulah yang harus ‘dimainkan’ oleh caleg perempuan. Titik krusial itu merupakan peluang bagi caleg perempuan untuk menuntut agar upaya-upaya peminggiran seperti disinggung di atas itu tidak terjadi. Kalau masih terjadi, ya sudah, tinggalkan partai yang tidak kondusif itu. Dalam bahasa sederhana: ajukan tuntutan wajar yang membuat anda nyaman sebagai caleg perempuan. Kalau partai (dan teman-teman caleg) keberatan memenuhinya, tinggalkan saja partai itu!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline