Kemiskinan di Indonesia, menurut majalah kompas secara statistik tahun 2012 terjadi penurunan kemiskinan menjadi 28,59 juta orang atau 11,6 persen, secara kualitas kemiskinan justru mengalami involusi dan cenderung semakin kronis. Ironis, saya tercenung. Bagaimana tidak, dilihat dari sisi manapun Indonesia itu kaya, sangat kaya bisa di bilang. Sejarah tak bisa di bohongi, kenyataan apalagi.
Tapi faktanya memang demikian, setiap harinya, tingkat orang miskin Indonesia, didaerah mana saja terus bertambah. Menyesakkan.
Menurut salah satu anggota Kaukus Ekonomi Fraksi PDI Perjuangan, Arif Budimanta, dalam Kompas, edisi Kamis (3/1/2013). mengatakan, hal itu ditunjukkan oleh semakin meningkatnya indeks keparahan kemiskinan, terutama di wilayah pedesaan yang meningkat hampir dua kali lipat selama tahun 2012. ”Badan Pusat Statistik mencatat, indeks keparahan pada Maret 2012 sebesar 0,36. Padahal, pada September 2012 menjadi 0,61. Kenaikan indeks ini menunjukan dua hal, yaitu semakin melebarnya kesenjangan antarpenduduk miskin dan, juga, semakin rendahnya daya beli dari masyarakat kelompok miskin karena ketidakmampuan mereka memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup sampai dengan batas pengeluaran garis kemiskinan yang hanya sebesar Rp 259.520 per bulan,” paparnya.
Saya semakin geleng-geleng kepala. Saya berpikir, dan memperhatikan, apa gerangan yang menyebabkan kemiskinan semakin merajalela, dan parahnya bukan hanya dikota kecil, dan daerah-daerah terpojok saja, Ibu kota kita saja, jakarta…Tak lepas dari cengkraman “kemiskinan”. Anak-anak putus sekolah, yang mau tak mau mengamen dijalanan tepat diperempatan lalu lintas, orang lanjut usia tak terurus bertumpuk macam sampah dipinggiran jalan, mengenaskan. Saat Raskin dibagikan saja bisa menimbulkan korban jiwa, saat zakat fitrah diberi juga tak berbeda, banyak orang mengantri, banyak juga nyawa yang melayang.
Betapa kemiskinan dinegara kita telah merambat habis, membabat, bakan meracau entah kemana. Jujur, saya memang masih muda, masih naif bisa dibilang. Mengurus diri sendiri yang juga “miskin” kualitas, “miskin” ilmu, dan bahkan bisa dibilang “miskin”pengalaman, saja tidak becus. Apalagi mengurusi negara, dengan segala tetek bengeknya.
Di zaman yang serba hipokrit ini memang susah, menghadapi namanya kenyataan, apalagi sudah yang berbau sosial-politikal macam ini. Kemiskinan Indonesia itu sistematis, dari bawah sampai bawah dan terus kebawah….tidak selesai-selesai. Semakin kebawah juga semakin mengakar hebat, macam tengtakelnya gurita. Lari mengacir kemana-mana, ayahnya miskin, anaknya miskin, cucu, cicit, tetangga, terus, dan terus kebawah juga miskin. Heran.
Padahal, jika ditilik lebih lanjut, kemiskinan tersebut bisa saja diberantas, memang tidak bisa langsung dipangkas habis, tapi setidaknya bisa diminimalisir. Dan semua itu butuh andil besar, dari setiap subject, dari setiap oknum, dari setiap lapisan. Bukan cuma satu atau dua orang saja. Indonesia ini luas men!…Kaya, SDAnya sudah tidak diragukan dunia, SDMnya juga banyak yang berkualitas (walau tidak banyak juga yang mentas). Masa dari dulu, persoalan “kecil” seperti masih tidak bisa dipecahkan?
Untuk apa pahlawan dulu bersimbah darah dan air mata kalau hasilnya cuma seperti ini? bangsa yang hidup segan, mati tak mau? Apa artinya bangsa yang dulu sempat ditakuti Amerika ini kalau masalah kemiskinan yang semakin merajalela hanya seperti hiasan televisi dan media massa saja? tanpa ada tindakan konkrit dari pemerintah? dari aparat desa? dari masyarakat kaya?
Dulu thailand sempat terpuruk, tapi berhasil bangkit. Malaysia juga begitu…Dulu Dubai sarang penyamun ditengah tandusnya padang pasir, tapi sekarang? Siapa yang tidak tahu Dubai? Itu baru sedikit contoh….
#Masih kenapa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H