Lihat ke Halaman Asli

Bolehkah Aku Tak Jujur?

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku seorang Aktor. Aku seorang Penulis. Aku bermain film, banyak film. Lima film, itu cukup banyak bagiku. Aku pernah berfikir, aku terlahir untuk mengkarakterkan diriku sendiri. Seorang Guru Bimbingan Konseling di SMP pernah mengatakan untuk mencari jati diri masing-masing. Tapi yang aku tahu, Jati adalah jenis kayu. Ya, kayu, tumbuhan yang telah mati. Dan setiap orang berfikir sama bahwa mengkarakterkan dirinya sendiri adalah pembentukan jati dirinya. Bagiku, itu berarti beda. Aku tak ingin menjadi sebongkah kayu yang dibentuk orang lain menjadi sebuah seni terapan dan dijual, tapi ini terdengar seperti profesiku sebagai seorang aktor. Maksudku, aku memberikan pengertian seperti itu, tapi aku tak mau dipandang seperti itu. Aku hanya membuka mata setiap orang yang melihatku dalam suatu film, katakanlah mereka akan sanggup melihat dengan jelas seperti apa seorang Ayah, orang tua yang seringkali terlupakan bagaimana ototnya yang keras itu melelah menjadi keringat. Aku seorang karakter, atau sebut saja lakon pewayangan dengan karakter sederhananya, agar setiap mereka yang melihat sanggup menertaiwai sifat lucuku, mengapresiasi sifat bijakku, dan kemudian mereka berdiri dan pergi pulang dengan moral yang kusiratkan. Terlihat sudah, aku seperti apa. Aku hidup di dunia nyataku hanya sekejap. Aku menjadi orang lain dan ditonton orang lain. Aku dengan karakternya nyataku, karakter dari indukku, ayah dan bundaku sepertinya hanya tinggal 10 persen. Aku, sekali lagi seorang aktor. Ibuku seorang ibu rumah tangga biasa, dengan pengalamannya yang sedikit sebagai seorang penari tradisional ketika beliau remaja. Dan ayahku, seorang penjual nasi goreng, dengan sedikit pengalamannya sebagai seorang dalang. Mungkin, aku belajar berbohong seperti inipun dari mereka berdua. Mereka pulang ke rumah dengan senyuman. Mereka pergi ke luar untuk menjadi makhluk rumit hanya demi sebuah kesederhanaan, yaitu keluarga. Aku pembohong yang baik. Lalu, apakah para penonton tidak sepertiku? Katakan saja, kebutuhan mereka terpenuhi, maksudku menutupi kesengsaraan. Aku tak menuntut apapun, tapi sekali lagi katakan saja aku sedang berbohong, aku menjadi seorang yang sombong. Tidakkah penonton buta jika tanpa aku? Bukankah mereka tidak akan mau melihat kesengsaraan orang lain dengan sadar jika tanpa aku? Lalu anggap aku mereka (penonton), dan aku ditanya balik seperti itu. Aku?Tak sanggup melekukkan tanganku dengan lembut seperti ibuku. Aku? Tak sanggup berkata-kata dengan lantang seperti ayahku. Dan jelaslah jawabku, aku akan seperti mereka (penonton). Aku tak akan sanggup melihat penderitaan orang lain dengan sadar.

Aku yang lain? Seorang penulis. Aku bermain fiksi. Aku tak pernah membohongi kenyataan. Aku mengawalinya dengan menulis segala kenyataan ke dalam sebuah buku tulis atau diary dengan jujur. Aku bermain fiksi karena semua fiksiku adalah kenyataan yang kususun terbolak-balik dengan baik. Semua bukuku, ya, aku baru menerbitkan 2 buku, tak kan pernah menjadi sebuah cerita jika aku tak pernah menghadapi kenyataan. Hey, tunggu! Bukannkah sebuah cerita menjadi buku, tapi kenapa aku menyatakan bahwa bukuku menjadi sebuah cerita? Ini bukan cerita tentang seberapa banyak eksemplar buku itu terjual, bukan juga tentang pengaruh buku itu pada pembacanya, atau bahkan buku itu difilmkan. Buku itu menjadi cerita yang jujur meski tersusun oleh fiksi. Apalagi? Jujur? Aku belum menyampaikan kenapa menjadi cerita malah mengatakan ceritanya yang jujur. Tidakkah aku terdengar seperti seorangfilosofis. Baiklah, maka dengarkan aku. Setelah buku pertamaku berjudul Campur Tangan Tuhan pada Tangan Manusia terbit, terbisik sebuah pertanyaan, “Apakah aku bertanggungjawab atas ini?” Aku melihat diriku yang secara implisit tergambar sebagai seorang yang sombong yang mampu menggambarkan segala ciptaan-Nya beserta fenomena-fenomena kehidupan di bumi. Dengan kata lain, aku merubah diriku sendiri dalam bukuku yang kedua. Aku pertanggungjawabkan sifat manusiawiku. Aku menerbitkan Aku Lahir Penuh Rahmat-Nya, Aku Hidup Menuntut-Nya. Aku sendiri tak ingin terlihat sok benar oleh pembaca dan terlihat sok alim. Aku tahu kesalahanku, ya, terutama pada kedua orang tuaku. Aku juga tak ingin terlihat sombong dengan adanya bukuku yang pertama. Dan kembali lagi, buku tersebut adalah cerita. Cerita yang jujur bukan?

Aku berkarakter dan aku memerankannya dengan jujur dalam bukuku. Aku menjadi orang lain dalam filmku dan aku membohongi semua orang dengan karakter orang lain. Ini hanya synopsis berlebihan untuk buku ketigaku. Aku seorang aktor atau seorang penulis? Aku pembohong atau aku orang jujur?

Oleh: Fazl Ahmad Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline