Koridor rumah sakit pemerintah daerah itu jarang sunyi. Ada saja derap langkah tergesa-gesa, bunyi troli beroda tua berkarat yang berderit, dan bisikan-bisikan cemas; bercampur padu menjadi simfoni malam yang tak pernah usai. Di tengah suara-suara itu, Maya, seorang dokter muda PPDS Anestesi, berjalan dengan langkah yang tampak begitu ringan. Rambut pendeknya yang lembut bergoyang mengikuti irama langkahnya, senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Maya, kamu yakin gak mau ikut makan malam?" tanya seorang perawat senior, Wulan, sambil menepuk pundak Maya dengan lembut.
Maya menoleh, senyumnya melebar. "Makasih, Bu Wulan. Saya masih ada beberapa catatan yang harus diselesaikan. Lagipula, saya belum lapar."
Wulan mengangguk, namun kerutan khawatir tak bisa disembunyikan dari dahinya. "Jangan terlalu memaksakan diri, ya, Maya. Kamu sudah bekerja keras seharian ini."
Maya hanya mengangguk lagi, lalu berlalu menuju ruangannya. Setelah pintu tertutup, senyum di wajahnya perlahan memudar. Ia menghela napas panjang, lalu menatap tumpukan buku dan catatan di mejanya. Rasa lelah yang teramat sangat tiba-tiba menyergapnya, seolah tulang-tulangnya remuk.
"Sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini?" bisiknya dalam hati, suaranya tercekat.
Maya duduk di mejanya melepas lelah, dikelilingi oleh buku-buku teks dan diagram anatomi. Kata-kata di judul-judul buku itu tampak kabur, seolah menari-nari di depan matanya. Kepala dirasa semakin berat, napas terasa semakin sesak.
"Sakit sekali, Tuhan," bisiknya lagi.
Di luar, hiruk-pikuk rumah sakit terus berlanjut. Namun, di ruang Maya yang tertutup dan sunyi, ada perjuangan yang terus berkecamuk. Memanggil harapan agar tetap kuat. Namun, yang datang tekanan makin menghimpit, tersudutkan, dan tersembunyi di balik senyumnya yang rapuh. Ia lawan, ia harus kuat.
***