Lihat ke Halaman Asli

Fazil Abdullah

Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Apa yang Hilang Bila Bahasa Suatu Daerah Punah?

Diperbarui: 8 Maret 2024   03:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Imam Budi Utomo memberi sambutan dalam Rakor Revitalisasi Bahasa Aceh dan Gayo (5-8/3/2024). (Foto: Dokpri) 

Drs. Imam Budi Utomo, M. Hum, Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbud Ristek RI) mengatakan kondisi bahasa (daerah) tidak benar-benar aman. Bahasa daerah mengalami kemunduran dan goncangan-goncangan akibat dampak globalisasi. 

Salah satu contoh kecil tergerusnya penggunaan bahasa daerah misalnya terkait bahasa di lingkup  kuliner. Penggunaan istilah teknologi baru seperti magic com, magic jar, rice cooker, menjadikan nama alat tradisional (beserta pengetahuan teknologi di sebaliknya), menjadi hilang atau sangat terbatas penuturnya.

"Kegiatan memasak dengan alat tradisonal yang biasa menggunakan kayu bakar itu, akan hilang. Anak-anak (generasi muda) akhirnya tidak mengenal nama benda, proses memasaknya, dan (cita rasa) masakan bagaimana yang dihasilkan dari alat-alat tersebut," tutur Budi dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Revitalisasi Bahasa Aceh dan Gayo di Banda Aceh yang berlangsung 5 sampai 8 Maret 2024.

Bahasa adalah bagian atau inti kebudayaan. Pada bahasa (daerah) terdapat mutiara terkait pemikiran, pengetahuan, konsep-konsep budaya, kearifan lokal, atau nilai-nilai moralitas. Jika suatu bahasa (daerah) punah, kekayaan dari yang dikandung dari bahasa  tersebut itu, ikut hilang, kata Imam Budi Utomo.

Sejalan dengan kata Budi, dalam khazanah bahasa Aceh, bisa dilihat terkait hadih maja yang sudah sangat jarang digunakan dalam sosial masyarakat Aceh, apalagi di kalangan mudanya. Hadih maja dapat diindonesiakan adalah perkataan atau tuturan menyerupai peribahasa, pantun, atau syair dalam kehidupan sosial masyarakat  Aceh.  

Dalam kebiasaan lama sosial masyarakat di Aceh, hadih maja yang kaya nilai-nilai luhur bahkan universal ini, dituturkan orang tua kepada anak cucunya. Dilansir tengkuputeh.com, hadih maja yang banyak mengandung filosofi ini, dijadikan sarana edukasi oleh orang tua untuk nasihat atau pendidikan untuk anak. Dampak positif dari kebiasaan penuturan hadih maja, anak selain menjadi cerdas atau berkualitas secara verbal, juga  secara pribadi punya nilai, sikap, dan pola pikir yang sehat.

Beberapa hadih maja yang  terus relevan hingga zaman kini dan mencerminkan pola pikir atau sikap penutur bahasa Aceh, dapat disimak misalnya "Awai buet dudoe pike, teulah oh akhe keupeu lom guna" (Duluan berbuat daripada berpikir, sesal di kemudian tiada guna). Atau "Bek lagee boh trueng lam jeu-e, ho nyang singet keunan meuron" (jangan seperti terong dalam keranjang, ke mana miring ke situ mengumpul).

Oleh karena itu, vitalitas (daya tahan) suatu bahasa (daerah), sangatlah penting. Imam Budi Utomo mengajak semua pemangku kepentingan terlibat dalam usaha-usaha untuk revitalisasi atau melestarikan bahasa daerah. Ketidakpedulian penutur bahasa yang tidak mewariskan kepada anak cucunya merupakan salah satu pendorong percepatan atau rentan musnahnya suatu bahasa.

Salah satu kebijakan terkait perlindungan bahasa, Pemerintah telah memasukan program revitalisasi bahasa daerah dalam program Platform Merdeka Belajar Kemendikbud RI sejak 2022, tutur Budi.

Badan atau Balai Bahasa tiap provinsi di Indonesia di bawah naungan Kemendikbud Ristek RI, juga giat melaksanakan terkait program revitalisasi bahasa daerah. Termasuk Balai Bahasa Aceh  yang mempersiapkan dan mematangkan kegiatan revitalisasi bahasa di Aceh dengan mengelar Rakor Revitalisasi Bahasa Aceh dan Gayo.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline