Lihat ke Halaman Asli

Fazil Abdullah

Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Sang Pemancing dan Burung Kembara

Diperbarui: 25 Februari 2023   20:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi: A-Digit/istockphoto.com

Sang Burung Kembara yang terbiasa sendiri berpetualang, menjelajahi benua-benua, melewati berbagai musim, melihat berbagai ragam polah manusia, suatu siang hinggap di kapal sang Pemancing. Ia lelah dan butuh istirah. Memilih singgah pada sang Pemancing karena ia melihat sang Pemancing juga sama seperti dirinya, suka dengan kesendirian. Lebih dari itu, ia ingin memakan sesuatu terdalam dari diri sang Pemancing.

Sang Pemancing hanya sekilas menatap Kembara. Ia lempar seekor tuna kepada Kembara. Menganggapnya seperti camar yang hanya ingin minta makan di kapalnya. Sang Kembara langsung menyambar dan memakannya. Kembara juga lapar secara fisik. Tapi Kembara tak menunjukkan diri meminta. Ia terima jika diberi, meski dengan prasangka.

"Aku hinggap ke sini bukan karena mau makan. Kau beri, aku terima. Kini, usai makan, tentu asyik untuk mengobrol," kata Kembara usai melahap tuna besar.

"Ya, sambil memancing juga asyik bicara selama tidak menakuti ikan-ikan dan menyaingi suara angin," sahut sang Pemancing.

Kembara langsung mengerti. Sang Pemancing mengharapkan obrolan tanpa kekerasan suara atau menganggu dirinya. Kebetulan suasana, tidak ada angin menerjang dan tepian laut pun tenang. Jika suara angin keras dan ombak menerjang, tentu harapan sang Pemancing adalah kenaifan. Mana mungkin bersuara lembut di tengah laut. Para yang melaut tentu paham situasi ini.

Sang Kembara mengenalkan diri dengan tersirat. "Aku pernah menerkam ular besar di pinggiran sungai. Di tepi sungai itu, sedang pesta berlangsung. Ular besar itu, kujatuhkan di keramaian pesta."

Sang Pemancing dengan topi bundar dan pancing yang tak lepas dari genggaman, mendongak sangat pelan ke langit. Merasakan angin laut dan matahari sore. Ia mencoba mencerna maksud Kembara.

Sang Pemancing menangkap dua makna bahwa Burung Kembara mengenalkan diri sebagai Pengganggu atau Penyelamat. Burung Kembara terbiasa sendiri dan jarang terlihat oleh manusia atau tak ingin berurusan dengan manusia. Maka ular yang dilempar ke tempat pesta bukan berarti mengganggu pesta karena itu di luar kebiasaan perilaku sang Burung. Kembara tentu hendak menunjukkan bahaya kepada yang sedang terlena dengan pesta. Ular itu mungkin sedang menunggu mangsa lengah dan Kembara yang sedang melintas terbang, memergoki ular, lalu mencengkeram dengan cakar, memplintir ular hingga mati, dan dilempar ke tempat pesta. Jadi, Kembara yang melempar ular ke keramaian pesta sedang menunjukkan bahaya yang mengintai dan Kembara telah menyelamatkan mereka. Jadi maksud Kembara, berarti sedang mengenalkan diri sebagai sang Penyelamat, simpul sang Pemancing.

Untuk mendukung analisanya dan mengkonfirmasi pesan bahwa Sang Burung adalah Penyelamat, Sang Pemancing menguji asumsinya, "Ular itu, sekalipun besar, tentu telah mati di cengkraman cakarmu yang kuat itu bukan?"

"Tentu saja mati," sahut Kembara sambil menatap mata Sang Pemancing yang langsung lega usai mendengar jawabannya. "Kau ternyata mengerti aku bukan pengganggu. Kau cerdas. Namun, mereka yang berpesta, yang melihat segala berdasarkan senang dan tak senang, menganggapku pengganggu kebahagiaan atau kesenangan. Mereka tidak bisa berpikir sedalam dirimu. Akal mereka telah ditumpulkan oleh kesenangan-kesenangan."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline