yang berada di puncak,
pada akhirnya ke lembah jua.
jadi persoalannya adalah bukan
mana lebih bahagia, lebih baik
di puncak atau di lembah.
persoalannya adalah membanding-bandingkan
dengan memakai sudut pandang masing-masing.
lembah yang melihat gunung.
gunung yang melihat lembah.
saat lupa sebagai apa,
kita kadang mudah sekali Dikacaukan penglihatan.
lupa melihat posisi dan peran masing-masing.
muncullah membanding-bandingkan yang sebenarnya bukan untuk dibanding-bandingkan.
karena itulah, muncul ego berkuasa, paling kuat, paling benar.
merasa ada tak adil.
muncullah keinginan
lembah yang ingin menjadi gunung;
keinginan merambah ke sesuatu
yang bukan wilayahnya.
mulailah ketidakseimbangan terjadi, gejolak.
bukankah itu berawal karena lupa posisi peran sebagai lembah, sebagai puncak?
bukankah seharusnya saling melengkapi, seimbang, dan bahagia dengan cara masing-masing?
bahagia pun tak selalu selamanya.
dipergilirkan merasakan itu.
yang penting sabar.
mendapatkan matahari, angin, dan air,
ada waktunya masing-masing.
sayang, manusia bukan makhuk yang bisa diam, seperti lembah dan puncak. tak mudah tunduk.
makhluk yang mudah berkeluh kesah, tak sabaran, kikir, mudah lupa dan khilaf, bodoh, bebal.
karena itu begitu mudah Dikacaukan penglihatannya.
akhirnya, terjadilah yang terjadi.
segala yang tak berjalan sebagaimana mestinya; pusing angin, meledak gunung, banjir lembah.
lalu sekurun waktu,
berdamai kembali manusia
saat lembah telah merupa gunung
dan gunung telah merupa lembah.