Kamu telah mati di tali. Bekas di lehermu masih membekas di kepalaku. Bekas air mataku pun masih menghitam di kelopak mata. Semalaman aku tak berhenti menangis memikirkan keputusanmu. Sakit ya Kekasih. Sakit sekali. Bagaimana aku tak sesakit ini. Aku pernah mengecam mereka yang bunuh diri. Menghujat mereka. Menghinakan mereka. Menuding kebodohan paling terkutuk yang telah dilakukan. Menertawakan kesalahan yang tak terampunkan semesta. Lalu kini, kamu, orang yang kukasih, yang terdekat hati, bunuh diri. Aaaaarggggghh....
Bagaimana aku bisa menerima takdir ini. Duhai ya Kekasih. Tak habis mengerti aku. Bunga mawar yang kita tanam padahal segera mekar. Sepasang merpati putih yang kita beli siap menetas. Semua tumbuh. Berkembang. Hidup berlanjut. Kamu tidak, menjemput mautmu sendiri.
Kamu masih muda. Sekolah pun belum tamat. Cita-cita pun belum kamu buat. Cerita cinta kita pun masih singkat. Namun, kau ciptakan sendiri kiamat. Arghhhhh....
Kekasih ya kekasih. Baru kutahu persoalanmu yang menekatkanmu bunuh diri. Pada status terakhirmu di Facebook kubaca itu. Ketiadaan ayah sejak kecil membuatmu kehilangan kekuatan jiwa. Kau rindu ayah. Kamu butuh kasih sayangnya. Tak ada pahlawan dalam hidupmu. Tak ada cinta tulus yang menguatkan jiwamu. Tidak kamu dapat kekuatan itu dari kasihku. Terlebih dari kakak-kakak dan ibumu.
Mereka tak mencintaimu, begitu kubaca. Kamu menyembunyikan cerita itu. Namun, tetangga membuka rahasia itu. Cek-cok di keluargamu sudah kerap diketahui tetangga. Ibumu dengan menantu; menantu dengan suami; kamu dengan ibu, kakar ipar, dan kakakmu. Tak ada yang pedulimu. Semua menyimpan luka dan marah sendiri-sendiri pada nasib. Bahkan, kata tak pantas pun pernah terucap tumpah dari ibumu. Menggema dan meretakkan semesta. Kamu diharapkan lebih baik mati saja. Saat itulah kau tampar ibumu. Semesta pun bergetar ya Kekasih.
Duhai Kekasih bergetar hati ini membaca cerita keluargamu yang pelik. Walaubagaimanapun, kamu tak benar juga mengakhiri hidupmu. Cukup pergi saja. Masih luas bumi, masih lapang dada manusia, masih luas kebaikan, belum mati kasih sayang di bumi.
Apakah aku yang menahanmu pergi? Arghhhh..... Kenapa aku yang menjadi bersalah. Kenapa matimu meninggalkan salah di dada. Kenapa matimu aku yang menanggung sakit. Kenapa kesalahanmu menjadi sakitku. Ah, aku menolak. Bukan salahku. Semua keputusan masing-masing, jadi tanggung jawab masing-masing diri. Aku, orang lain, lingkungan hanya mengajak, mempengaruhi, mendorong, tapi tak memaksa. Kamu yang memilih dan memutuskan atas hidupmu. Sadar atau tak.
Ah, Kekasih, banyak jalan untuk hidup. Banyak jalan untuk mati terhormat. Banyak orang ingin lepas dari kesulitan perang untuk merasakan hidup damai. Banyak orang ingin berperang untuk mendapatkan mati terhormat. Kamu tidakkah berpikir sampai ke sana.
Arghh.... makin kulihat kesempatan-kesempatan hidup, pintu-pintu yang terbuka, makin kubenci ketertutupan akalmu. Apa kamu pikir pilihanmu terbaik. Kamu pikir pesan terakhirmu, hadapi ujian sekolah dengan baik, akan kukenang sepanjang nafasku? Tidak, sesekali tidak. Pesan tak bermutu itu.
Apa lagi pesan di sebalik pesan itu. Apa kamu pikir pesan itu tanda menyayangiku. Menitip kasihmu di semesta hidup. Ah, tak hidup tanda pesanmu. Selewat saja seperti angin di rambut. Sampai sesaat, lalu lenyap.
Masih mengalir sungai-sungai, masih berenang ikan-ikan, masih berkelana angin-angin, masih hangat mentari pagi, masih berkicau burung-burung, masih menari bumi, masih berjalan semesta, masih berharap dunia lebih baik, tapi kamu menghentikan perjalanan hidupmu.