Lihat ke Halaman Asli

Fazil Abdullah

Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Puisi | Luka tapi Bintang

Diperbarui: 13 November 2018   19:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

shutterstock

Untaian sesal dan pintamu begitu hening dan hayat. Menyelusup ini hati. Mengetarkan ini dada.  Mengguncang tubuh hingga ini mata tumpah laksana air bah.

Baru kali ini aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak pernah menangis selama bersamamu dan selepasmu. Tapi tak bisa kali ini kubendung.

Bagaimana aku tak menangis? Dari untaian pesanmu kumelihat kau terperangkap di sudut semesta. Menungguku terbang untuk membawamu ke duniaku. Aku tak bisa melihatmu begitu hampa dan terasingkan.

Duhai, ya hati. Sungguh permohonanmu kali ini adalah racun di balik madu. Sungguh tawaranmu begitu inginku melesat menjemputmu. Menyelamatkanmu. Aku tak pernah bisa melihatmu terluka.

Tapi tidak! Tidak ya hati. Tak bisa aku tinggalkan duniaku ini demimu lagi. Dunia yang telah kubangun dan kujaga akan hancur jika kutinggalkan demimu.

Kali ini sepenuh hati kuminta padamu, bangkitlah. Jangan kau munculkan kembali apa yang telah karam. Sesak adanya.

Ku pinta padamu, terbanglah ke mana bintang yang menerangkanmu. Jangan padaku. Sungguh, tak pernah kupinta padamu selama ini. Tapi kali ini, terbanglah. Jangan kau sakiti dirimu dalam ruang penyesalan dan rindu.

Jangan kau dilemahkan oleh rasa masa lalu itu. Jangan kau dibodohkan oleh rasa yang telah palung di samudera hati itu. Jangan kau coba angkat. Petaka akan menunggu.

Akan ada hati-hati yang retak di sini. Retakannya menyerap samudera kesedihan. Lalu kau bayangkanlah, tsunami kesedihan menghancurkan dunia yang telah kubangun. Kau bisa mengerti keadaanku kini?

Kita tak bisa bersatu kembali. Aku dengan duniaku kini. Kau dengan duniamu. Dua dunia yang tak bisa bersatu. Kita dua partikel yang tak boleh dipersatukan sebab mempersatukannya adalah kehancuran yang dijanjikan.

Kau sendiri telah berkata, kita tak bisa bersatu adalah takdir. Jangan kau sembelih kata-katamu yang serasa sumpah itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline