Lihat ke Halaman Asli

Fazil Abdullah

Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Cerpen | Ayah Hilang di Laut

Diperbarui: 17 November 2018   17:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.skyscanner.co.id

Musim pancaroba telah berlalu, namun kini kembali diingatnya. Musim yang nyaris saban hari membawa hujan, guruh, petir, dan angin dari laut; yang bersatu padu telah mengubah hidupnya. Musim yang menghempaskan dan menerbangkan atap-atap; mematahkan dahan-dahan, merubuhkan, bahkan mencabut sebagian keteguhan pohon dari akarnya. Musim yang mengubah riak laut tenang menjadi gelombang yang menghempas dan mengaramkan kapal-kapal. Musim pembawa badai kematian. Ayahnya hilang di laut.

Sudah tiga bulan berlalu. Ia, adik-adik, ibunya, sudah bisa menerima. Kembali melanjutkan hidup meski beban hidup menjadi berat.  Sempat terganggu batinnya saat bayang-bayang ayah hadir sesekali di pulau-pulau kecil tak bertuan di sekitar kampung yang ditempatinya, di pantai, di kapal-kapal nelayan, di bayang-bayang pepohonan kelapa, juga di rumah. Ia sudah bisa melewati bayang-bayang itu. Sudah mampu melepaskan, mengikhlaskan.

Namun, suara tetua kampung di warung pada suatu malam, mengusik hati yang sudah dikuatkannya. Malam itu ia duduk terdiam di sudut meja warung. Masih lelah dan mulai mengantuk karena siang sepulang sekolah, ia menjaring ikan bersama temannya. Sore hari ia lanjutkan kerja di warung itu. 

Suara pemilik warung yang sudah dikenalinya, menegurnya.

"Nak, jangan melamun. Pelanggan ada yang pesan kopi."

Ia langsung bangkit dan segera membuat kopi. Tak lama membuatnya. Disajikan kepada kedua tetua yang cukup dikenalnya dan punya pengaruh di kampung. Seorang ketua kelompok nelayan dan seorang lagi kepala desa.

Saat kembali ke meja sudut, ia mendengar percakapan tetua itu.

"Dia anak almarhum Ismail, bukan?" tanya  kepala desa.

"Iya. Mulai sore dia bantu-bantu di sini kalau tak melaut," sahut ketua kelompok nelayan.

"Oo, melaut juga dia?"

"Iya. Sudah sering melaut sama nelayan kelompok kami.  Ada yang mengajaknya atau dia minta sendiri. Sebenarnya pernah saya himbau kepada nelayan, jangan memperkerjakan anak sekolah, kalau bukan hari libur sekolah, tapi anak ini punya alasan yang membuat kami susah menolak. Dapur rumah belum berasap, katanya."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline