Lukisan perempuan itu belum diberi mata oleh Papa. Setiap hari Papa duduk di serambi belakang bersama kanvas lukisannya. Saat hendak menuntaskan mata lukisan perempuan itu, tangan Papa terhenti, menggantung, dan bergetar. Tak jadi Papa goreskan kuas pada lubang mata perempuan dalam lukisan.
the-artists-wife-amedeo-modigliani.
Saat tangan Papa menggantung begitu, pandangan Papa tak lagi ke kanvas melainkan ke hutan, pada sebatang pohon tak lagi berdaun yang dihinggapi dua pasang burung balam. Kesadaran Papa teralihkan dari apa yang hendak dilukiskannya, sambil bergumam, "Pulanglah, Merpatiku... ." Papa melihat burung-burung itu sebagai merpati.
Pada awalnya pernah kuluruskan kekeliruan penglihatan Papa, "Itu burung balam, Pa."
Ayah bersikukuh, "Gak mungkin burung balam. Itu merpati karena merpati selalu berpasangan dan setia. Mamamu juga begitu; setia. Matanya pun merpati; penuh binar bahagia, setia, dan tulus. Gak meredup matanya meski Papa lagi menyebalkan atau menyusahkannya. Oh ya, Mama sudah pulang, Tari?"
Saat itu, aku sangat terkejut. Kutatap mata Papa penuh selidik kekhawatiranku.
"Kenapa kamu menatap Papa begitu? Matamu tajam. Nyala matamu sungguh jauh beda dengan nyala mata Mama. Eh, tapi kamu tetap cantik, kok. Kamu tegas. Jujur Papa bilang. Tanya Mama kalo gak percaya."
Aku masih mematung.
"Kenapa kamu tiba-tiba diam begitu, Tari. Nyala matamu seperti takut begitu ke Papa. Gak terima ya dibanding-bandingin dengan Mama ya. Duh, maaf, ya, Sayangku." Papa bangkit dan merangkulku yang masih diam.
"Kamu cantik, kok, Sayang. Kamu beda. Spesial. Serius, Papa. Maaaa, Mamaaa! Tari cantik 'kan Ma?!" Papa memanggil Mama yang dikira di dalam rumah.
Air mataku hendak jatuh di pundaknya. Buru-buru kutepis. "Paaa," kataku serak. "Mama kan telah tiada. Ta... ."