Lihat ke Halaman Asli

Fazil Abdullah

Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Ayah di Seberang Sungai

Diperbarui: 17 Maret 2017   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap kali melihat sungai keruh, berpusar-pusar, berarus deras, aku terkenang pada ayah di seberang sungai. Bersama beberapa penebang pohon, teman-teman kerja ayah. Hanya saja tak sama keadaan ayah dengan mereka. 

Ayah sekarat. Telentang di tandu buatan dadakan. Digeletak di rerumput. Basah oleh rintik hujan. Kain melilit beberapa anggota tubuh dan kepala untuk menghentikan pendarahan. Daun-daun lebar disulap menjadi payung ayah seadanya.

Teman-teman ayah masih mencari cara bagaimana menyeberangkan ayah. Ayah masih tak sadar dan makin mengkhawatirkan akan bertahan hidup. Ayah akan lama diseberangkan jika menunggu sungai tenang. Sampai kapan menunggu tak pasti?

Di hulu, hujan masih menunjukkan deras. Maka sungai pun akan terus berarus deras, keruh, dengan pusaran-pusaran yang mematikan siapa saja yang masuk ke dalamnya. Rakit dan tali penyeberangan yang melintang di antara tepian sungai, sudah terseret arus. Tak bisa mereka menyeberang.

Tak bisa aku berbuat apa-apa. Aku terduduk di rumput berlumpur. Menangis. Ibu juga menangis. Mondar-mandir di hadapanku.

"Ya, Rabbiii, ya Tuhankuuu. Bagaimana ini? Neupeuseulamat (selamatkan), suamiku. Mudahkan kami bawanya ke puskesmas. Tak bisa menunggu begini."

Selendangnya sudah jatuh ke pundak dan melilit leher. Sarung yang dikenakan ibu, sebagaimana kebiasaan perempuan paruh baya di sini, juga basah dan terkena lumpur. Sendalnya sudah putus, terperosok lumpur saat kami berlari dari rumah ke tepi sungai usai mendengar ayah kecelakaan di lokasi penebangan.

Ini menyedihkan sekali, Tuhan. Ayah sudah sekarat, lalu kini sulit dibawa ke puskesmas kampung kami. Ini hari sudah sore. Aku menangis tersedu-sedu. Berdoa dalam hati jangan mengambil ayah kami. Ada dua adik dan aku masih SMP. Kami butuh ayah.

Jika ayah diambil, aku tak pernah bisa bersama ayah lagi. Ayah sesekali mengajak aku ke lokasi penebangan. Kami naik rakit untuk menyeberang menuju ke dalam hutan. Aku membawa ketapel mencari burung-burung di sela pohon-pohon tinggi yang sudah puluhan tahun hidup. Ayah dan teman-teman kerjanya hanya mencari pohon merbau yang banyak cabang besar.

Tebang pohon sebenarnya ilegal. Begitu kata pemerintah. Tebang pohon, efek yang tampak akan menyebabkan banjir dan longsor. Tapi ayah dan beberapa teman masih bergelut dengan tebang kayu. Ini mata pencaharian pemukiman kampung kami ketika kebun belum panen.

Tak ada penghasilan kampung kami selain dari kebun, hutan, sungai, dan ternak. Hasil semua itu, seminggu sekali diturunkan ke kota untuk dijual ke pasar, sekaligus beli kebutuhan untuk seminggu kemudian sebelum turun ke kota lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline