Lihat ke Halaman Asli

Fazil Abdullah

Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Tanah Tersimpan Api

Diperbarui: 3 Maret 2017   19:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kalau masih sayang nyawa, segera tinggalkan kampung ini. Alihkan perkebunan ini pada kami tanpa syarat. Sudah cukup kamu keruk keuntungan dari tanah leluhur kami. Pergilah. Jangan pernah kembali," Sulaiman berkata datar padaku.

Di belakang Sulaiman, Hasbi berdiri tepekur. Dia tak berani menatapku. Masih bersalah padaku tapi serakahnya lebih unggul. Ada empat orang lagi beserta mereka; Idham, Rizki, dan Haikal. Semua bekerja di perkebunanku. Seorang lagi seorang polisi.

Kurang ajarlah manusia. Manusia-manusia yang tak senang orang lain memiliki lebih banyak dari yang dimilikinya. Perkebunan di kaki bukit ini yang telah berjalan 10 tahun dan menghasilkan kesejahteraan materi buat mereka kini hendak direbut paksa dariku.

Aku telah membangun perkebunan ini dengan modal, ilmu, dan kerja sama. Kini mereka memutus kerja sama itu ketika modal dan ilmu plus keserakahan telah dimiliki. Sepuluh tahun lalu, mereka dulunya pekebun-pekebun tradisional. Mengolah tanah dengan seadanya, hasil seadanya, dan memenuhi kebutuhan hidup seadanya.

Kubangun perkebunan ini. Kurencanakan matang. Dari hulu ke hilir. Kudatangkan alat-alat teknologi untuk memudahkan pekerjaan mereka. Kubangun pabrik mengolah hasil kebun. Kurintis jalan-jalan bukaan. Kumasukkan listrik. Kuciptakan lapangan pekerjaan buat kampung terpencil dan terisolir ini.

"Tak kumakan sendiri hasil perkebunan ini, kampret! Para pekerja dan masyarakat di sini kuperhatikan. Jalan kubangun. Perumahan kubangun. Masjid kubangun. Sekolah kubangun. Apa salahku? Hanya aku bukan penduduk sini! Ini kebun tidak semata keuntungan pribadi semata kucari. Tapi keuntungan sosial. Keuntungan buat kalian semua. Babi!"

Angin gunung menerpa tubuhku. Dingin tapi tak mendinginkan hatiku. Air sungai gemericik mengalir jernih berkilau ditimpa matahari sore. Langit biru dihias burung-burung pulang. Indah alam, busuk manusia!

"Mulutmu selalu makian. Sudahlah, jangan sombong kau! Sekarang bukan lagi berkompromi. Pembicaraan sudah jauh-jauh hari kami minta supaya lepaskan kebun ini pada kami. Tapi kau sendiri masih bersikeras kepala dan berlagak pahlawan di kampung ini. Kami sekarang sudah mulai kami main kekerasan. Pergilah sebelum ada darah tumpah," mata Sulaiman mengarah ke pistol polisi ingusan itu.

Jahanamlah mereka! Kutatap mereka semua menantang kecuali Hasbi. Menyedihkan melihatnya. Sepuluh tahun lalu dia memohon modalku dan kerja sama buka kebun di kaki bukit ini. Aku setuju. Awalnya setengah hakter kebun. Tumbuh dan berkembang. Tumbuh pula serakah dan iri. Jahanamlah manusia iri dan serakah. Alasan apapun yang mereka utarakan untuk membenar-benarkan mengambil kebunku hanya dipicu serakah dan iri.

"Jangan mengharapkan lebih dari di luar kemampuan kalian!" Murkaku.

"Kasih dia peringatan, Pak!" Sulaiman memberi aba-aba pada polisi itu dan menembak langit. Lalu diarahkan pistol itu padaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline