Lihat ke Halaman Asli

Fazil Abdullah

Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Meski Kini Kuterkurung di Lembah Hampa, Seiring Waktu Kuyakin Kau Akan Hilang dari Hatiku

Diperbarui: 1 Juli 2016   04:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: oklisten.com

"Tolong, jangan ganggu aku lagi. Aku muak. Kita udahan," tulismu pada sepenggal SMS.

Sepenggal smsmu datang setelah berulang kali kusms, kuchat, dan kutelepon dirimu tapi tak kau balas, tak kau angkat. Aku membujukmu, merayumu, mengiba, mengemis, menangis, memohon maaf untuk kembali padaku. Hari-hari sungguh terasa melemparku ke lembah sepi. Menyayat-nyayat jiwa. Aku tak tahan. Karena itu, kuturunkan ego, bahkan tanpa tahu malu dan bersalah, aku beruntun menghubungimu.

Tapi hatimu tetap menutup, tak ada maaf, tak menerimaku lagi. Kau malah terganggu. Maka, melayanglah sms itu padaku. Menusuk tepat ke hatiku.

Aku termangu lama. Lama sekali. Gerakku enggan. Diamku kacau. Jiwaku riuh seperti angin ribut. Kau, kau, kau saja bermain di hati dan pikiranku.

Bagaimana aku bisa segera lupa akan senyummu. Bagaimana aku bisa segera lupa tatapan malu-malumu. Bagaimana bisa aku lupa saat kau menangis di dadaku. Bagaimana bisa aku lupa pintamu memelukku, menguatkan jiwamu yang kala itu sedang sedih dan resah tak menentu. Aku memelukmu sayang, membelaimu. Aku pun mendadak menjadi kuat saat memelukmu. Maka pantas bukan jika aku lemah saat kau pergi karena kau ada andil memberi kekuatan dalam jiwaku.

Aku sudah menangkap tanda-tanda hubungan kita akan berakhir. Kita sering marah. Masalah egois dan tuntutan. Kau egois dan menuntut seperti maumu. Aku tak bisa selalu menurutimu. Aku butuh waktu-waktu untuk sendiri. Tak bisa selalu bersamamu setiap hari, setiap saat. Kuminta kau untuk menyibukkan diri dengan kegiatan lain, jangan terus lengket denganku. Tetapi malah kau tuduh aku sudah bosan padamu, tak menyukaimu, tak menyayangimu lagi. Lalu yang paling membuatku marah adalah kau cemburu dan menuduhku selingkuh.

Seringkali masalah itu muncul berulang dalam hubungan kita. Aku berulang kali menenangkan pikiran dan hatimu. Aku tidak selingkuh, aku tidak seperti pikiran buruk yang kau tuduhkan. Tak ada orang ketiga. Aku hanya minta kau memahamiku; memberi ruang dan waktu untuk bisa sendiri. Itu saja.

Hubungan kita membaik lagi. Kita berjalan lagi. Kau bahagia, kau cerah. Tapi aku masih bermuram durja karena kau lagi-lagi mengikatku untuk selalu bersamamu. Masalah yang sama pun muncul kembali. Aku tak tahan. Maka kulampiaskan kesalku padamu.

Kau diam saja. Menatap kosong. Matamu berair tapi tak menangis. Saat-saat begitu aku jatuh iba padamu. Jiwamu begitu rentan, rapuh. Biasanya kupeluk dan kubelai dirimu. Tapi yang terakhir kali itu, aku membiarkanmu. "Aku tak bisa selalu menenangkan dan menghiburmu. Kau harus belajar sendiri untuk menghibur dan menenangkan dirimu. Aku sendiri kacau, resah dengan keadaan ini. Banyak hal tak bisa kulakukan dan kukerjakan jika terus bersamamu. Hubungan kita merusak produktivitasku."

Kau lalu pergi. Lama tak berkabar. Aku pun membiarkan. Saat itu aku merasa tenang. Jika putus hubungan kita, putuslah. Aku tak lagi peduli.

Nyatanya, waktu menghembuskan rinduku akanmu. Aku memancingmu, menghubungimu lewat chat, sms, dan telpon. Kau membalas datar dan pendek. "Maaf, lagi sibuk."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline