Lihat ke Halaman Asli

Fahmi Aziz

Freelancer

Shopaholic Bermula dari Lingkungan

Diperbarui: 2 Februari 2016   16:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Shopaholic kini makin aware terdengar saat ini, khususnya bagi kalangan urbanis di perkotaan. Di mana seseorang memiliki kebiasaan senang berbelanja dan juga memiliki ketergantungan untuk membeli barang yang menurutnya bagus. Inilah fenomena anyar yang kali ini hangat diperbincangakan. Bagaimana bisa seseorang bisa memiliki kebiasaan shopaholic tersebut.

Menurut Khairinia, seorang pakar kejiwaan, secara umum kebiasaan timbul tergantung dari kepribadian setiap individu. Sedangkan kepribadian pengaruh paling besarnya berasal dari pengasuhan dan lingkungan. “Genetik itu ada, tapi kecil mungkin hanya 10 persen. Jadi kalaupun genetiknnya kurang bagus, 90 persen lainnya bisa diperbaiki. Sehingga dari genetik hanya membawa bakat saja,” jelasnya.

Diperkirakan 60  70 persen, tingkah laku dan kebiasaan seseorang merupakan pengaruh dari pendidikan, spritiual, belief , dan lingkungan. Khairina menambahkan, bagus atau tidaknya sesorang bisa dilihat dari lingkungan ketika masih anak-anak. Jika lingkungannya baik, maka perkembangan dan tingkah lakunyanya juga baik.

Bermula dari pengasuhan dari setiap anggota di dalam suatu keluarga. Barulah kumpulan dari kelurga yang akhirnya membentuk lingkungan. Dokter kejiwaan di Rumah Sakit Dr. Sutomo ini juga mengakui, lingkungan saat ini sudah tidak baik lagi. “Saya katakana lingkungan di sekitar kita saat ini sudah jelek,” tuturnya.

Hal ini terlihat dari tayangan televisi yang tidak lagi dibatasi. Khairina menjelaskan program di televise menyajikan yang serba instan. Sehingga orang-orang, khususnya orang tua tertarik dan mengikuti budaya tersebut. Kemudian hal ini berpengaruh kepada orang tuanya. Terbukti saat ini, tidak jarang anak balita berusia dua tahun sudah diajarkan menari atau menyanyi.

“Jangan-jangan di pikiran anak-anak itu sudah tertanam bagaimana agar dia cepat kaya dan bagimana dia cepat terkenal. Mungkin dengan menjadi bintang film atau penyanyi,” tukas Khairina.

Menurutnya, di dalam strata kehidupan, orang-orang yang kapasitasnya lebih bagus itu menjadi teladan bagi yang kapasitasnya kurang. Semisal di dalam sebuah sekolah terdiri dari SD, SMP, SMA, kampus dan guru-guru menjadi satu tempat. Anak-anak SD yang memang kapasitasnya di sini paling rendah akan meniru mereka yang kapasitasnya ada di atasnya, seperti murid SMP atau SMA. Begitu pula selanjutnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, seharusnya pemangku jabatan tertinggi adalah orang yang paling mumpuni dan bisa menjadi contoh yang baik bagi orang lainnya. Namun, fenomena yang terjadi saat ini, kita bisa melihat bagaimana kehidupan para konglomerat kalangan pengusaha ataupun dari pejabat pemerintahan.

Dimulai dari sanalah, orang-orang yang bisa dikatakan lebih rendah kapasitasnya, dari aspek ekonomi ataupun lainnya, mengikuti gaya hidup mereka yang glamor, serba baru dan mahal. Inilah yang akhirnya menjadi salah satu faktor bertumbuhnya shopaholic.

Tidak berhenti di situ, seorang ibu juga memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan anaknya, Jika seorang ibu memiliki pola kebiasaan sophaholic ini, seorang anak akan terbiasa serba ada. Pasalnya, kehidupannya dipenuhi dengan segala sesuatu yang melebihi sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline