Lihat ke Halaman Asli

Fazar Sinaga

Serep Marroha

Agama Sebagai Mata Air, Bukan Air Mata

Diperbarui: 26 Februari 2021   15:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tulisan yang berjudul Agama Sebagai Mata Air, Bukan Air Mata, terinspirasi dari sebuah pernyataan seorang tokoh agama dan sekaligus Menteri Agama Republik Indonesia yaitu Bapak Yaqut Cholil Qoumas atau yang kerap disapa Gus Qut, beberapa hari sesudah beliau bersama lima menteri baru lainnya dilantik di Istana Negara pada 22 Desember 2020. Dalam pernyataan yang disampaikan oleh beliau yang mengatakan "terus terang, sudah lama rakyat merindukan kehadiran pemuka agama sebagai mata air kearifan, bukan menjadi pemicu sumber konflik yang megalirkan air mata". Pernyataan tersebut sebenarnya mengarah kepada pemuka agama, namun terdapat sebuah kalimat yang merupakan adagium menarik bagi penulis sehingga muncul sebuah ide untuk membahas dan mengarahkan adagium tersebut menjadi konteks agama. Pernyataan Gus Yaqut tersebut dikaji oleh penulis sehingga terciptalah kalimat baru yaitu Agama Sebagai Mata Air, Bukan Air Mata.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai apa itu Agama Sebagai Mata Air, Bukan Air Mata, terlebih dahulu dijelaskan sedikit mengenai agama dan kontekstualisasinya. Agama merupakan sebuah sistem yang mengatur kepercayaan dan peribadatan manusia kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta merupakan sebuah tata kaidah yang saling berkaitan dengan budaya dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan. Terma agama berasal dari bahasa Sanskerta dan digunakan secara khusus di kalangan keagamaan yang cenderung pada Tantrisme yang bermakna memperoleh pengetahuan.

Dalam kontekstualisasinya, kata agama merupakan terjemahan dari kata yang berasal dari bahasa Latin yaitu religio atau dalam bahasa Inggris disebut religion. Religio berarti hubungan dan ikatan dengan Allah, sedangkan agama merupakan pelembagaan atau institusionaliasasi religiositas yaitu perasaan dan kesadaran akan hubungan dan ikatan kembali dengan Allah. Agama dapat dipandang sebagai doktrin yang diyakini secara mutlak kebenarannya. Namun demikian, agama sebagai doktrin dianggap memberikan kontribusi terhadap dinamika dan tatanan sosial, politik, dan ekonomi. Sistem kehidupan dalam masyarakat rata-rata dipengaruhi oleh doktrin atau ajaran agamanya masing-masing sehingga agama menimbulkan pemahaman bahwa agama itu berasal dari pengalaman manusia sendiri.

Saat ini, pembahasan mengenai agama dikaitkan dengan pembahasan poltik yang bertele-tele yang pada akhirnya setiap pihak menawarkan agamanya dengan bebas, menganggap agamanya lebih baik dari agama yang lain tanpa memikirkan pihak lain dan tidak peduli apakah pihak lain itu mengerti atau menerima apa yang disampaikan oleh pihak tersebut. Seluruh konteks kehidupan saat ini selalu dikaitkan dengan agama. "Apa agamanya ?", merupakan sebuah pertanyaan singkat namun berdampak signifikan yang sering dilontarkan oleh masyarakat saat menilai seseorang. Hal tersebut menggambarkan bahwa agama dianggap menjadi sebuah tolak ukur apakah seseorang tersebut adalah kawan jika agamanya sama atau lawan jika agama yang diyakini berbeda.

  • Air Mata dalam Konsep Beragama

Banyak air mata yang menetes, bukan menangis karena kebahagiaan tetapi karena bergeseknya persatuan yang diakibatkan oleh sebuah inspirasi yang disalahpahami. Agama tidak lagi dimaknai sebagai pendamai maupun pemersatu, melainkan sebagai pemecah kerukunan yang di provokatori oleh oknum-oknum fanatik sehingga menimbulkan keributan dan perpecahan. Kalau saja agama tidak dibuat sulit tetapi disederhanakan menjadi kaidah moral dan etika, tidak dijadikan sebagai identitas kesukuan dan tribalisme, tidak dijadikan ideologi dan kemudian dipolitisasi, tidak menjadi bahan untuk bersaing mencari pengikut, dan kalau saja pendidikan agama lebih ditekankan pada sisi batin dan spiritual daripada sisi zahir dan material, maka barangkali kekacauan akan terhindarkan dan agama akan menjadi sumber inspirasi kehidupan manusia yang lebih baik.

Agama dalam kenyataannya saat ini sering dijadikan kendaraan untuk memenuhi syahwat politik, dimana tempat ibadah malah dipakai sebagai tempat kampanye atau menyampaikan aspirasi politik. Agama juga dijadikan oleh sekelompok tertentu untuk menentang pemerintah maupun merebut kekuasaan. Beberapa kasus negatif mengenai agama yang telah disebutkan diatas berpotensi merusak citra agama, sehingga bisa saja banyak orang beralih dari kehidupan beragama kemudian menjadi penganut atheisme. Untuk apa beragama kalau kerusuhan yang tercipta. Untuk apa beragama kalau agama tidak lagi menjadi pendamai. Agama saat ini adalah aspirasi, bukan inspirasi.

  • Mata Air dalam Konsep Beragama

Di sisi lain, mata air yang digambarkan sebagai sumber air jernih yang berguna bagi kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup. Demikianlah halnya dengan agama yang diyakini menjadi sebuah sumber mata air yang mampu menyegarkan dan menjadi sumber kehidupan bagi seluruh umat manusia. Agama juga menjadi pelepas dari kesedihan dan kesesatan, sama halnya dengan air yang menjadi pelepas dahaga. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa seringkali timbul berbagai asumsi-asumsi yang berbeda dan cenderung menrujuk kearah negatif mengenai adagium mata air ini.

Salah satu asumsi negatif mengenai mata air ini anggapan bahwa adalah ajaran agama yang diwariskan dari generasi kegenerasi, mengalir bagaikan mata air. Semakin lama ditinggalkan oleh pembawanya, maka semakin banyak pula yang ditinggalkan oleh umatnya. Tatkala air sudah mengalir dari mata air sedemikian jauh melewati aliran yang sedemikian panjang, maka disamping terdapat yang hilang juga bercampur dengan beraneka ragam benda yang membuat air sungai dimaksud tidak semakin jernih. Terjadilah kesalah pahaman, perbedaan pendapat, pengertian yang tidak tepat, fungsi yang beraneka ragam dan sebagainya. Hal demikian menjadikan ajaran agama dimaknai secara berbeda-beda dan bahkan disesuaikan dengan kepentingan masing-masing.

  • Upaya Melahirkan Konsep Agama Sebagai Mata Air, Bukan Air Mata

Setiap individu perlu memahami apa sebenarnya makna dan fungsi dari agama dalam diri masing-masing. Dengan adanya pemahaman dalam diri, maka perwujudan agama sebagai mata air akan terlaksana dengan baik, sehingga paradigma dan sikap toleransi turut menjadi andil dalam mewujudkan kerukunan umat beragama di Indonesia.Upaya pemerintah dalam mewujudkan agama sebagai mata air juga patut diberikan apresiasi yang tinggi. Pemerintah memiliki strategi-strategi tersendiri dalam menangani dan mengubah pola pandangan serta paradigma beragama di Indonesia. Permainan catur politik dijalankan dengan ciamik dan perlahan tapi pasti. Dengan adanya perpaduan yang singkron antara pemerintah dengan masyarakat, maka harapan akan hidup dalam kedamaian dan kerukunan umat beragama akan segera terwujud.

Agama yang secara esensial merupakan sumber kedamaian dituntut mampu memulihkan dirinya sendiri melalui pelbagai aspek dan subjek agar menjadi modalitas bagi pemuliaan budaya kehidupan, bukan menjadi problem kronis yang problematis. Dengan demikian maka perwujudan agama sebagai mata air, bukan air mata dapat segera terealisasi dan agama menjadi inspirasi, bukan aspirasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline