"Lembaga Sensor Film Indonesia Republik Indonesia menyatakan bahwa film ini telah lulus sensor...... Rommy Fibri Hardiyanto", begitu selalu yang terpampang di layar lebar sebelum film dimulai. Pernyataan tersebut sangat penting demi kenyamanan semua penonton Indonesia yang menikmati sajian layar lebar.
Sering kali dengan ketidak tahuan ketika ada film-film yang lulus sensor menampilkan tayangan berantakan jari penonton terunjuk ke LSF karena berfikir lembaga tsb lah yang memotong bagian-bagian yang tidak layak dikonsumsi. Seperti kejadian film Hell Boy juga Deadpoll. Penonton kesal dan kecewa karna potongannya terasa mengganggu. Akibatnya kritikan terlontar kepada LSF.
Ditambah lagi dengan banyaknya film-film yang dirasa tidak sesuai rating atau penonton yang menonton tanpa peduli rating film juga keresahan dengan adanya platform online resmi dan berbayar yang menyediakan tayangan-tayangan yang vulgar. Mendorong keinginan berdialog dengan anggota LSF langsung untuk mengeluarkan uneg-uneg.
Hari itu, 30 Juni 2022, KoMiK mendapatkan kesempatan yang telah lama dinantikan. Yaitu anjangsana ke LSF. Di sana Perwakilan KoMiK bertemu langsung Ketua LSF, Pak Rommy, beserta 5 anggotanya yang mewakili bidangnya masing-masing. Dialog yang terjalin sangat hangat dan menyenangkan. KoMiK diberikan Penjelasan lengkap apa itu LSF dan sejauh apa LSF berperan.
Kita patut bersyukur dengan adanya LSF, karna lembaga ini memiliki tugas penting untuk menyelamatkan masyarakat dengan tontonan yang tersaji di layar, entah itu TV, bioskop, juga layar gadget. LSF punya peran sepenuhnya untuk menyensor baik iklan, sinetron tentu juga film layar lebar. Ada 5 hal yang menjadi concern utamanya, yang mengandung kekerasan yang sadis, pornografi, mengganggu ideologi Pancasila, SARA, juga menjatuhkan harkat dan martabat. Penilaian tersebut berdasarkan judul, tema, adegan visual, teks dan terjemahan.
Yang patut diluruskan, setelah sebuah file digital disensor oleh LSF, lembaga ini memberikan rekomendasi kepada pemilik film jika ada hal-hal yang harus diperbaiki agar tayangan layak tonton, juga memberikan rekomendasi rating. LSF tidak punya hak untuk memotong adegan-adegan sensitif, tapi pemilik filmlah yang mengedit agar film tersebut bisa naik layar. Seperti halnya 2 film yang sudah saya sebutkan di atas, juga film Midsommar yang banyak sekali adegan mengganggu, namun sayangnya distributor sudah terlanjur membayar mahal hanya karna melihat sutradara yang membuat film tsb.
Film dapat mendapatkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) yang ditayangkan bersama film di layar lebar setelah mengikuti rekomendasi dari LSF. Bagaimana dengan Sinetron yang kejar tayang? Hal tsb sama juga, karna file digital diproses 3 hari di LSF, sebelum diluluskan sensor.
LSF yang beranggotakan 17 orang yang terdiri dari 12 unsur masyarakat dan 5 unsur pemerintah tersebut memiliki tanggungjawab yang sangat besar. Tak seperti yang dikira oleh khalayak bahwa betapa menyenangkannya bekerja di LSF, karna dibutuhkan mental dan psikologis yang baik sebagai anggota dalam penyensoran.
Sebelum atap gedung LSF di M. T. Haryono rubuh, ruangan sensor tentu sangat memadai. Selama direnovasi, LSF pindah sementara di Gd. Kemendikbud Ristek, sehingga ruangannya seadanya, walau demikian dilengkapi alat yang sangat memadai.
KoMiK juga diajak untuk melihat ruang sensor tempat LSF bekerja dan diberikan contoh potongan dari film-film yang disensor. Sungguh membuat jantung langsung bereaksi keras dengan adegan-adegan tidak senonoh, baik seksual juga kekerasannya. Tidak dapat dibayangkan bagaimana perasaan para anggota LSF ketika melakukan penyensoran pagi-pagi, karna harus mendapatkan suguhan macam itu dalam memulai hari. Layaklah jika LSF mendapatkan julukan laskar perfilman penyelamat masyarakat dalam mendapatkan tontonan yang berkualitas.