Konsep etika utilitarianisme John Stuart Mill mengeksplorasi relevansinya dengan sains atau pemikiran Islam. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dihadapkan pada dua perbuatan yaitu perbuatan baik dan perbuatan buruk yang biasa disebut dengan sistem moral. Etika atau etika itu sendiri memiliki banyak doktrin atau teori, salah satunya adalah teori yang bertujuan untuk memecahkan masalah secara mendalam mengenai baik buruknya perbuatan manusia tergantung pada tujuannya. Kemudian, etika yang bertujuan membentuk aliran yang disebut utilitarianisme, sebuah aliran yang memahami betapa baik suatu tindakan jika itu membawa kebahagiaan terbesar bagi banyak orang. Masalah lain juga muncul, ketika utilitarianisme dipandang ingin menyamakan kebaikan dengan kebaikan, yaitu adanya tindakan yang lebih mementingkan egoisme daripada kebaikan kolektif. Kemudian datang John Stuart Mill, yang menyempurnakan dan menyempurnakan ajaran teori Primordial. Meskipun etika Mill adalah hedonistik, Mill tetap memegang nilai-nilai kebenaran untuk bertindak egois, demi mencapai kebahagiaan yang lebih besar untuk kepentingan banyak orang. Oleh karena itu, penulis mencoba menjelaskan relevansinya dengan ilmu pengetahuan atau pemikiran Islam melalui pendekatan historis-filosofis. Melalui pendekatan ini, penulis menyimpulkan bahwa tindakan atau perilaku yang bertujuan untuk membuat banyak orang bahagia, seperti utilitarianisme John Stuart Mill, dapat mewakili nilai-nilai ajaran agama, humaniora, khususnya dalam sains atau pemikiran Islam. seperti teologi, kalam, fiqh, tasawuf, filsafat, tafsir, hadits, dll.
Bentham adalah salah satu filsuf empiris paling berpengaruh di bidang etika dan politik. Filsafat hukum Bentham dipengaruhi oleh banyak filsuf sebelumnya. Gagasan penting Bentham tentang prinsip Greates Happines sangat dipengaruhi oleh nama-nama
filsuf seperti Protagoras, Epicurus, John Locke, David Hume, Montesquieu dan Thomas Hobbes. Filsuf pendiri utilitarianisme Inggris, Bentham menjadi pemikir terkemuka yang memiliki pengaruh kuat pada filsuf tradisional. Beberapa nama bisa disebut seperti John Stuart Mill, Hendry Sidgwick, Michael Foucault, Peter Singer, John Austin dan Robert Owen.
Bentham sangat konsisten dalam menangani masalah hukum. Bentham bahkan menggunakan uangnya sendiri dan mendirikan Westminster Journal pada tahun 1824. Selama bertahun-tahun, forum tersebut mempublikasikan ide-ide politik dan hukum Bentham kepada publik. Penonton akhirnya bisa mengenali dan mengenali pikiran Bentham. Banyak ulasan positif dan membangun yang telah diapresiasi oleh publik di forum ini. Sebuah tanda bahwa pemikiran Bentham sudah mulai merambah dunia tutur dan kesadaran masyarakat bahkan sudah menyebar ke dunia.
Sebagai orang yang sangat rasional, Bentham membangun teori filosofisnya tentang hukum di atas fondasi individualisme dan utilitarianisme. Banyak filsuf mengevaluasi Bentham dari perspektif multidimensi. Salah satunya, Bertrand Russell, berpendapat bahwa Bentham membangun dasar filosofis hukum-nya pada dua prinsip utama, yaitu: prinsip asosiasi dan prinsip kebahagiaan terbesar. Tautan mengacu pada hubungan. antara gagasan dan bahasa, hubungan antara gagasan dan gagasan. Sedangkan prinsip kebahagiaan terbesar mengacu pada kebaikan hati seorang individu. Dilihat dari latar belakang pemikirannya, dapat dipahami bahwa pemikiran Bentham diilhami oleh kebangkitan humanisme pada saat itu, yang menjunjung nilai intrinsik harkat dan martabat manusia setiap individu. Nilai humanisme tampaknya menjadi semangat dasar yang berlabuh dalam pemikiran hukum Bentham.
Seorang pendukung teori utilitas, Bentham telah menyatakan bahwa tujuan hukum harus berguna bagi individu dalam masyarakat untuk mencapai kebahagiaan sebesar mungkin. Bentham dianggap sebagai bapak hukum Inggris karena refleksi teoritisnya dianggap
berpihak pada common law di Inggris, yaitu common law.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H