Lihat ke Halaman Asli

Busway, Ujian Kepemimpinan Jokowi

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Setelah satu tahun kepemimpinan Jokowi-Ahok (dilantik 15 Oktober 2012), DKI terasa semakin macet, dan angka kecelakaan akibat separator Busway yang semrawut semakin besar. Ini adalah ujian sebenarnya terhadap kepemimpinan “Jakarta Baru” dalam menyelesaikan persoalan utama ibukota !

Saya warga DKI Jakarta, tinggal di wilayah Kebayoran Baru Jakarta Selatan, berkantor di wilayah Senayan, Jakarta Pusat. Setiap hari berangkat menuju kantor, mondar-mandir sana-sini pindah-pindah tempat rapat, lalu pulang dari kantor menuju rumah, hati saya selalu ‘meradang’ melihat deretan pembatas separator busway yang ‘kacau balau’, ‘semrawut’, dan ‘menakutkan’. Banyak potongan separator yang terlepas, melintang di tengah jalan, tergeletak tidak di tempat semestinya, dan sangat membahayakan keselamatan pengguna jalan.

Entah sudah berapa ratus kali saya mendengar cerita ada kenalan saya, kerabat saya, ataupun saya lihat sendiri, pengguna jalan yang sudah menjadi korban ‘kebiadaban’ separator busway yg ‘kacau balau’ tersebut. Ada korban nyawa para pengguna motor, ada kenalan saya yang koma 2 bulan, karena kepala mereka (*maaf) pecah terbentur aspal akibat menabrak separator busway. Belum lagi ibu-ibu, anak kecil yang patah tulang, luka parah, akibat sepeda motor yg mereka gunakan menabrak separator busway. Untuk pengguna mobil, banyak yang menjadi rusak velgnya, akibat adanya potongan separator busway yang ‘menyempal’ diluar tempat semestinya dan tergeletak tidak di tempat sewajarnya. Masyarakat warga DKI sudah menderita kerugian hilang nyawa, cacat, luka-luka, dan kerugian materil, akibat lambannya tindakan PEMDA DKI untuk segera memperbaiki dan menertibkan separator busway yang cenderung terlihat tidak terurus dan menjadi momok maut bagi para pengguna jalan.

Saya ingat betul, pertama kali dicetuskan, ide pembentuan moda transportasi massal busway pada tahun 2002 ditentang oleh banyak pihak. Entah karena belum merasakan manfaatnya secara langsung atau bukan, namun yang jelas, banyak pihak menilai bahwa, keberadaan busway telah mengurangi satu jalur jalan. Selain itu, pembangunan halte-halte busway juga mengakibatkan sebagian pepohonan yang berada di pembatas jalan ditebang.

Tak lama kemudian, busway pun disambut baik penggunanya karena dianggap lebih nyaman dari angkutan umum sejenis lainnya. Dengan catatan : Jalur Blok M – Stasiun Kota, adalah pilot project busway yang dianggap sukses. Selain itu, moda transportasi hasil replikasi dari kota Bogota-Columbia ini juga dianggap lebih aman dari tindak kekerasan dan kejahatan di ibukota. Saat itulah, orang pun mulai berpikir, bahwa busway dapat menjadi salah satu solusi untuk menyelesaikan persoalan kemacetan di kota Jakarta.

Sejenak Bang Yos, Gubernur DKI saat ini pun senang bukan main, karena selain sebagai sarana transportasi perkotaan modern, ternyata busway juga dapat berfungsi sebagai bus pariwisata-kota. Selanjutnya terjadi pengembangan Busway Koridor II yang menempuh berbagai fasilitas pemerintah pusat terutama sisi barat Kompleks Sekretariat Negara, Jalan MH Thamrin, Monumen Nasional, Kantor Pemerintah DKI Jakarta, bekas Kantor Wakil Presiden Indonesia, Kedutaan Besar Amerika Serikat, dan Stasiun Gambir.

Namun, tak lama setelah itu, harapan dan imaji itu pun mulai terasa sirna. Pengembangan jalur (koridor) Busway selanjutnya mulai ‘ngawur’ dalam mempertimbangkan banyak aspek. Karena ternyata, ada banyak fakta yang disingkirkan semenjak busway pertama kali beroperasi. Misalnya saja, jalan umum bertambah macet dengan waktu dua jam untuk jarak 20-30 kilometer. Ada jalan yang hanya 2 jalur (contoh: Jalan Panjang) diambil satu jalur untuk Busway, sehingga kemacetan menjadi bertambah parah. Dan yang tak kalah pentingnya adalah tingginya angka kecelakaan yang melibatkan bus TransJakarta.

Saya masih ingat betul, di awal sosialisasi pembentukan busway, ada janji yang didengungkan oleh PEMDA DKI, bahwa jalur yang dilintasi Busway akan tidak lagi dilintasi oleh trayek bus-bus lain yang selama ini sudah dikenal ‘semrawut’ (contoh: Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin). Kenyataannya hari ini, di jalan Sudirman, trayek-trayek yang menggunakan bis ukuran menengah, bis ukuran besar, dan sejenisnya, tetap lalu lalang dengan tetap ‘semrawut’, ‘ngetem’ sembarangan, menurunkan penumpang di jalur cepat (contoh: depan Ratu Plasa) dan ngebut ugal-ugalan sesama bis di jalur lambat (contoh: didepan gedung-gedung perkantoran).

Replikasi yang Setengah Hati

Bila dibandingkan dengan model kebijakan yang diterapkan di negeri asalnya, maka sesungguhnya kita bisa melihat ada titik lemah dalam penerapan moda transportasi massal busway di Jakarta. Terutama dari sisi kebijakannya yang cenderung sektoral dan faktor kepentingan politik yang terlalu dominan. Dan yang paling utama tentu saja spirit awal yang tidak mampu ditangkap oleh pihak yang pertama kali melakukan replikasi dari tempat muasalnya, Bogota Columbia.

Disinilah ironi dari proyek busway yang kita terapkan. Entah berapa kali para diplomat RI berkunjung ke Bogota untuk menyaksikan sendiri kesuksesan Kolumbia dalam menata system transportasi di kota ini. Para delegasi dari Departemen Perhubungan, Departemen Keuangan, Pemda DKI, Dewan Transportasi dan beberapa orang lainnya seakan tak pernah puas berkunjung ke Bogota. Tapi faktanya, sejumlah persoalan masih saja menggelayut di langit Jakarta.

Karena terlalu politis, maka moda transportasi busway ini sekan dipaksa untuk berjuang sendiri (single fighter) untuk menjadi pemecah gunung es persoalan kemacetan kota Jakarta. Tidak ada instrumen transportasi lain yang diwujudkan di Jakarta. Sementara dari sisi pelayanan, meskipun perpindahan masyarakat dari kendaraan pribadi kebusway diklaim mencapai 22% (Pemprov DKI, 2012), namun angka tersebut, terbukti terus menurun seiring kualitas pelayanan yang mengalami penurunan. Para diplomat, delegasi dari Dephub dan pejabat Pemprov DKI tentu tahu bagaimana model pengelolaan Trans Milenio di Bogota-Columbia. Berada di dalam halte Trans Milenio sekan berada di ruang tunggu sebuah bandara. Semua papan petunjuk tersusun begitu rapih dan sangat informatif. Setelah melihat papan petunjuk, kita pun tak perlu lama

menunggu di depan pintu bis yang sedang ditunggu. Kita pun bisa tahu bis nomor sekian dan berapa menit lagi bis yang kita tunggu akan tiba dari monitor yang berada tidak jauh dari pintu halte.

Kondisi yang tentu saja sangat berbeda dengan yang kita rasakan ketika hendak menggunakan jasa transportasi busway. Selain panas, halte TransJakarta terlihat tak terurus sekali; AC mati, papan petunjuk yang membingungkan, bis TransJakarta mogok (contoh: mogok tepat di bundaran HI) dan belum lagi begitu lamanya menunggu bis TransJakarta datang. Alasannya armada busway yang beroperasi, tengah terjebak dalam kemacetan.

Pertanyaannya kemudian, apa yang kemudian menjadi poin plus bagi busway, bila persoalan utama busway sendiri adalah kesulitan untuk menerobos kemacetan? Apa bedanya kita menggunakan moda transportasi lain bila masih saja terjebak dalam kemacetan? Bila harus dikatakan, sepeda motor jelas-jelas lebih efsien dan menjadi solusi untuk memecah kebuntuan dibandingkan dengan busway. Bayangkan saja, di saat para pengendara motor sudah dapat melakukan beberapa aktivitas, para pengguna busway masih saja terjebak dalam semrawutnya lalu lintas kota Jakarta.

Kini, setelah hampir sepuluh tahun lebih ibukota Jakarta memiliki busway, keunggulan dan kebanggaan yang pernah kita lontarkan beberapa saat setelah moda transportasi ini diluncurkan, satu persatu terlucuti dengan sendirinya. Dengan sendirinya, karena memang sejak awal banyak proses yang seharusnya dilakukan kemudian tidak dilakukan. Dan seperti pada kasus transportasi lainnya, bila terdapat proses-proses yang terlewatkan, maka kulminasinya adalah ritme dan deret ukur menuju pencapaian tujuan pun alih-alih memunculkan persoalan baru, dalam konteks ini maka keselamatan dan kecelakaan yang menimpa warga DKI adalah contohnya.

Bayangkan, sejak tahun 2010 saja, tercatat sudah terjadi 515 kecelakaan yang melibatkan bus Transjakarta (itu yang tercatat, belum lagi kecelakaan/kerugian pengguna jalan akibat separator busway, yang tidak dilaporkan). Dalam periode tiga tahun tersebut, atau hingga 20 Agustus, tercatat 36 nyawa dalam kecelakaan yang melibatkan TransJakarta (Dishub DKI, 2012). Dalam konteks penerapan moda transportasi yang modern, jumlah tersebut tentu saja tidak bisa ditolerir sama sekali, apalagi bagi proyek dengan jumlah anggaran mencapai triliun rupiah.

Kita tentu masih ingat betul, bila hanya karena pengelolan busway yang tidak matang, sebuah kecelakaan yang melibatkan bus TransJakarta dengan sebuah motor terjadi di flyover Senen, Jakarta Pusat. Korban adalah seorang ibu hamil bernama Siti Handayani (24). Siti harus kehilangan kaki kanannya, Ketika itu, Siti yang dibonceng suaminya melaju ke arah Flyover Pasar Senen, terjatuh karena bersenggolan dengan motor lainnya. Belum sempat Siti berdiri, sebuah bus Transjakarta tiba-tiba saja melaju dengan kencang dan melindas kaki kanannya. Siti pun segera dilarikan ke rumah sakit

terdekat. Malangnya, selain harus kehilangan kaki kanannnya, Siti juga harus merelakan janin yang berusia 5 bulan dalam rahimnya mengalami keguguran.

Kecelakaan lain misalnya adalah kecelakaan yang melibatkan bus Transjakarta dengan pemotor bernama Ahmad Rizky (24) dan Angga Hermanto (23), mereka harus kehilangan nyawanya akibat terjatuh di jalur busway dan tertabrak bus Transjakarta yang melaju cepat dari arah Taman Kota, di Jembatan Layang Pesing. Kedua warga Pondok Sarila, Duri Kosambi, Cengkareng itu pun langsung tewas di tempat.

Titik Balik

Pemerintah DKI, Jokowi dan Ahok tentu saja tahu betul dengan persoalan transportasi atau bahkan berbagai kecelakaan yang tak sedikit menghilangkan nyawa warga DKI tersebut. Kita pun tentu masih ingat betul, bila Jokowi-Ahok dalam kampanye menjelang Pilakada DKI pernah mengatakan, bahwa busway merupakan moda transportasi modern, namun dengan manajemen model warteg. Lebih lanjut, Jokowi-Ahok mengatakan, bahwa ada tiga permasalahan megenai busway.Pertama, yakni soal sterilisasi jalur busway; kedua, jumlah bus yang perlu ditambah; dan ketiga, menyediakan jalur tambahan bagi busway agar bisa menyalip.

Baik Jokowi atau pun Ahok tentu tidak main-main dengan perkataannya tersebut, karena keduanya juga pernah menjadi pejabat publik di kota asalnya masing-masing. Artinya, bila keduanya sadar bahwa persoalan utama pengelolaan busway adalah manajemennya yang buruk, maka tak lama setelah mereka terpillih, seharusnya ada gebrakan yang dilakukan untuk mengubah manajemanbusway yang model warteg itu, menjadi manajemen yang lebih efisien dan tentu saja mengedepankan keselamatan warga DKI (human security).

Rencana meninggikan separator jalan yang ternyata juga menjadi poin rekomendasi Polda Metro Jaya untuk mengurangi angka kecelakaan yang melibatkan Bus Transjakarta, terbukti masih belum terlihat ada realisasinya di lapangan. Selain itu, upaya tersebut juga belum tentu bisa mengurangi angka kecelakaan, apalagi bila melihat persoalan utama kemacetan yang hingga saat ini belum juga teratasi.

Yang ada justru titik balik (turning point) terhadap busway, dimana harapan warga DKI yang pernah tertambat pada moda transportasi ini malah berbalik dan membuat warga DKI kecewa dan kesal dengan keberadaan jalur busway. Bahkan, sampai ada sejumlah oknum pengendara yang melakukan perusakan atau bahkan penembakan terhadap sejumlah halte busway.

Bila melihat kota-kota yang sukses menerapkan sistem busway, baik di Bogota-Columbia maupun di Guangzhou-China, upaya sterilisasi jalur busway dengan meninggikan separator busway, memang menjadi salah satu upaya yang cukup berhasil. Hanya saja perlu diingat bahwa, sterilisasi jalur busway di Bogota maupun di Guangzhou disertai dengan sejumlah kebijakan seperti pembatasan kendaraan dalam mengatasi kemacetan.

Di Bogota misalnya, pembatasan kendaraan dilakukan melalui beberapa langkah. Salah satu contohnya adalah penerapan aturan nomor polisi kendaraan. Dimana pemilik nomor kendaraan yang memiliki akhiran tertentu hanya bisa melintas pada hari-hari tertentu saja. Menurut mantan walikota Bogota, Enrique Penalosa, pemilik kendaraan hanya boleh mengoperasikan kendaraannya lima hari dalam seminggu. Upaya lain misalnya, dengan mempersempit area parkir, electronic road pricing(ERP), atau bahkan three in one.

Beberapa model kebijakan pembatasan kendaraan tersebut sebetulnya telah menjadi wacana pemerintahan Jokowi-Ahok, hanya saja itu tetap hanya menjadi wacana yang tak pernah terealisasi. Sementara DKI Jakarta semakin macet parah dan korban separator Busway terus meningkat.

Akankah Jokowi-Ahok bisa menyelesaikan persoalan ini? Saya menunggu, kita semua menunggu !




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline